Upacara Adat Puputan dan Salapan




Upacara puputan adalah tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan pada seorang bayi. Upacara puputan dilakukan setelah tali pusar lepas dari perut bayi. Pusar bayi yang sudah mengering akan terlepas dengan sendirinya. Untuk mohon keselamatan bagi bayi yang telah putus sisa tali puser oleh masyarakat Jawa diadakan upacara selamatan puput puser.

Pada bayi perempuan, pusar yang baru saja mengering ditutup dengan ketumbar 1 pasang. Pada bayi laki-laki, pusarnya ditutup dengan satu pasang merica. Sebelum mengadakan upacara puput puser, terlebih dahulu mempersiapkan rumah dengan sekeliling rumah dipagari benang Lawe. Selanjutnya pintu rumah diberi daun-daunan seperti: daun girang, widara, lolan, dan daun nanas. Pintu juga dicorat-coret dengan menggunakan injet dan jelaga. Selain itu di depan pintu dipasang pula duri-durian dari pohon kemarung. Prosesi ini bertujuan menolak sarat-sawan maupun makhluk halus. Pada prosesi puputan ini disediakan mainan yang diperuntukkan bagi kerabat bayi. Dalam masyarakat Jawa diyakini bahwa bayi yang lahir memiliki saudara yaitu kakang kawah dahi ari-ari, sedulur papat lima pancer. Maksud kakang kawah adalah kawah atau air. Air ketuban pecah mendahului kelahiran bayi, sehingga kawah dianggap sebagai saudara tua bayi, sedangkan ari-ari keluar setelah bayi telahir diikuti keluarnya ari-ari. Sehingga ari-ari dianggap sebagai adik. Maka timbul istilah adik ari-ari. Mainan yang diperuntukkan bagi “saudara-saudara” bayi ini terdiri dari umbul-umbul dan bendera, songsong “payung”, dan tombak mainan yang ditancapkan di batang pohon pisang.

Prosesi upacara puputan diawali dengan menutup pusar bayi menggunakan merica atau ketumbar. Pada malam harinya bayi dipangku secara bergantian oleh para sesepuh. Menjelang pagi hari, bayi baru boleh ditidurkan. Tempat tidur yang dipakai untuk menidurkan bayi diberi batu gilig atau Gandhi yang digambari seperti orang(diberi hidung, mata, dan sebagainya). Batu gilig kemudian digendong seperti bayi dan ditidurkan di tempat tidur. Prosesi ini dimaksudkan untuk menipu makhluk halus yang akan mengganggu si bayi. Pukul satu pagi, hidangan yang berupa nasi dan lauk baru dikeluarkan, di hidangkan pula pisang mas sebagai pencuci mulut. Sesudah makan, tamu pulang kerumah masing-masing. Tetapi ada pula yang tetap tinggal tinggal untuk tirakatan atau berjaga semalam suntuk. Ada pula cara menyelamati bayi berumur sepasar atau lima hari dengan cara lebih sederhana yaitu dengan membuat nasi dan sayur-sayuran yang dibentuk tumpeng, bubur merah, putih, baro-baro dan jajan pasar.

Pada tradisi adat Jawa, setelah bayi berumur 35 hari, diadakan upacara selapanan.

Pada upacara selapanan ada berbagai kegiatan yang dilakukan, antara lain punjangan, sumbangan, Lek-lekkan. Selain itu pada upacara selapanan ini ada prosesi pemotongan rambut bayi untuk pertama kalinya oleh nenek si bayi. Kepala bayi kemudian diolesi dengan perasan air dadap aren.

Pada upacara selapanan ini di buatkan tumpeng yang di atasnya telah ditancapkan bawang merah, cabai merah, dan telur serta inthuk-inthuk. Inthuk-inthuk adalah batok bolu yang di bawahnya dilambari dengan daun pisang, pada tempurungnya diberi alas pohon jati, buluh pada yang atasnya diberi daun pisang lagi. Diatas daun pisang kedua diletakkan uncet atau tumpeng kecil yang ujungnya ditancapkan bawang. Inthuk-inthuk di letakkan ditempat tidur bayi, yang bermakna mengelabuhi makhluk hidup agar mengira bahwa inthuk-inthuk adalah bayi.





img

Jogja Belajar Budaya

JB Budaya adalah salah satu layanan unggulan Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan DIY yang terintegrasi dengan jogjabelajar.org. JB Budaya merupakan media pembelajaran berbasis website yang mempelajari tentang budaya-budaya di Yogyakarta.




Artikel Terkait

Artikel yang juga anda sukai