Upacara Adat Kelahiran




Menurut adat Jawa, dahulu jika ada wanita yang sudah memberikan tanda-tanda akan melahirkan, segera pihak keluarga memberitahukan orang tua si Istri dan saudara dekatnya. Perempuan yang akan melahirkan di tidurkan menghadap ke arah barat. Hal ini melambangkan agar bayi yang dilahirkan langsung menyongsong matahari, karena matahari adalah simbol kehidupan. Saat proses kelahiran dimulai, suami dengan rambut terurai memangku si istri sambil meniup Bun-ubun istrinya. Dilakukan agar istri merasa tenang dalam proses melahirkan.

Pada saat ini suami tidak diperkenankan menggunakan hiasan sisir, memakai sabuk, kain juga tidak boleh ditalikan. Semua pitu rumah harus dalam keadaan terkunci, dan keris keris harus dilepas dari warangkanya. Semua itu mengandung makna agar proses kelahiran dapat berjalan lancar.

Setelah bayi lahir bayi di bersihkan kemudian diadzani. Untuk selamatanya sendiri ada empat selamatan yang dilaksanakan, yaitu ngethok puser atau menguburkan ari-ari, kopohan, dan selamatan brokohan.

Tali pusar dipotong dengan welat. Welat itu berupa irisan bambu tipis dan tajam. Sebelum memotong tali pusar, usus diurut ke bawah agar darah mengumpul, sesudah itu baru dapat dipotong. Welat yang telah digunakan dapat dipergunakan kembali. Maka ada istilah sedulur tunggal welat saudara, yang ari-arinya di potong dengan welat yang sama.

Ari-ari kemudian dicampuri dengan kunyit, dimasukan ke dalam kendhil yang sudah di alasi daun senthe. Ari-ari dalam kendil dimasuki kemiri gepak jendhul sebagai lambang suami istri, kembang boreh, campuran batu, kemuning, pandan wangi, jarum, beras merah, minyak wangi, garam, sirih, uang recehan, dan tulisan dalam huruf Arab dan huruf Jawa, dimaksudkan agar anak yang dilahirkan pintar mengaji dan membaca. Kemudian kendi di tutup dengan menggunakan cobek batu berukuran sedang yang masih baru. Kendil kemudian dibungkus dengan kain mori. Suami dengan mengenakan pakan lengkap menggendong ari-ari dan menguburnya.

Kepohan adalah kain yang di pakai ketika Ibu melahirkan, kain kepohan yang telah di pakai kemudian dicuci sampai bersih. Dan yang harus mencuci adalah ayah si bayi, kalau ayah bayi tidak bisa mencuci dapat diwakilkan tetapi harus membayar tebusan uang. Kain kepohan yang telah bersih tidak boleh dipakai lagi. Kain itu bisa dipakai jika suatu saat bayi sakit, maka kain tersebut dipakaikan sebagai selimut.

Setelah tali pusar dikubur ada tradisi selamatan brokohan. Sejak zaman dahulu brokohan sudah menjadi budaya Jawa, yang dilakukan setelah lahirnya jabang bayi. Hal ini dilakukan sebagai wujud syukur atas lahirnya bayi dan keselamatan ibu saat kelahiran. Brokohan adalah upacara tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam menyambut lahirnya anak. Brokohan berasal dari bahasa Arab yang Barkah. Wujud brokohan pada zaman dahulu menggunakan “besek” yang berisi:
3 telur ayam mentah (jumlah ditentukan menurut Neprune hari dan pasaran lahirnya bayi), gula Jawa, dhawet, nasi beserta lauk pauk, pecel ayam, jangan menir, bunga setaman (mawar, melati, kenangan), kelapa dan beras.
Cara yang lain diwujudkan dengan bahan mentah berupa bumbu dapur: bawang merah, bawang putih, cabai merah , cabai rawit, garam, dll. Ada juga disertakan teh, gula Jawa/gula merah, tempe dan separo kelapa. Brokohan kemudian dibagikan pada tetangga terdekat, yang bahan atau perlengkapanya sekarang ini sesuai dengan kemampuan ekonomi dengan keluarga masing-masing.

Upacara kelahiran bayi bermakna sebagai ucapan syukur kepada tuhan dan memaknai kelahiran sebagai sebuah awal kehidupan manusia yang akan diikuti dengan tugas berat orang tua selanjutnya, yaitu merawat, mengasuh, mendidik hingga dewasa dan bisa mandiri.





img

Jogja Belajar Budaya

JB Budaya adalah salah satu layanan unggulan Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan DIY yang terintegrasi dengan jogjabelajar.org. JB Budaya merupakan media pembelajaran berbasis website yang mempelajari tentang budaya-budaya di Yogyakarta.




Artikel Terkait

Artikel yang juga anda sukai