Sumber Foto: id.theasianparent.com
Tahun baru 2023 tinggal dua pekan saja. Anda pasti sudah sibuk dengan daftar resolusi. Begitulah tabiat masyarakat masa kini. Begitu nampak ekspresi spiritualitasnya. Momentum pergantian masa tidak lagi sekadar dihingarbingari bunyi terompet kertas dan kemilau kembang api. Poster-poster berisi list resolusi mesti diprioritaskan lebih dulu jadi untuk diunggah di akun pribadi --semacam penanda eksistensi. Tak pelak, hijrah pun pasti ramai menjadi idiom pilihan tahun baru. Beramai-ramai orang menyongsong Januari dengan perasaan yang seragam: dua belas (12) bulan yang telah dilalui dianggap penuh noda. Awal tahun baru diselamati dengan ikrar transformasi: dari bernoda menuju suci; dari keburukan menjadi kebaikan; dari salah menuju benar penuh berkah. Itulah hijrah.
Tak sedikit orang yang menyokong gempitanya fenomena hijrah. Tak sedikit juga yang mengritisi. Hijrah yang berawal dari definisi perpindahan ruang dakwah Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah demi keselamatan itu kini berarti pergantian kecenderungan motif hidup seseorang dalam mencapai kebenaran, kebaikan dan kebermanfaatan. Tidak ada yang salah dengan fenomena ini. Adanya justeru benar semua.
Tapi mengapa ada yang pedas mengritik? Anda pasti sudah tahu --setidaknya dapat menduga. Tak akan jauh dari persoalan kemampuan para penempuh hijrah dalam mengekpresikan diri sebaik mungkin melebihi kesan dari simbol-simbol ragawi.
Tahan dulu. Jangan berprasangka buruk dulu. Pernyataan ini tidak sedang hendak mengajak Anda untuk mengritik gejala transformasi komunitas tertentu di negeri ini --Islam misalnya. Sama sekali tidak.
Pengantar ini justeru untuk mengajak Anda yang beridentitas Jawa secara kebudayaan agar berani noleh githoke dhewe.
Jawa masa kini adalah ruang dan kebudayaan itu sendiri yang penuh sesak oleh tumpukan dan timbunan simbol namun miskin laku. Kita --orang Jawa masa kini-- adalah bagian dari penempuh hijrah yang tampak upacaranya saja, belum sampai kepada aksi nyatanya.
Melihat banyaknya inisiasi yang disematkan dalam aneka ritus kehidupan masyarakat Jawa mestinya kita yang adalah warga kebudayaan Jawa ini adalah manusia-manusia yang niscaya slamet ucap lan patrape (selamat ucapan dan tindakannya).
Lihat saja. Pada usia tujuh bulan bayi manusia Jawa dirituali inisiasi pendewasaan tingkat dasar. Dalam ritual yang lazim disebut Tedhak Siti (Turun Tanah) itu seorang bayi Jawa dibimbing agar mendapatkan pengalaman pertama menapaki tanah dengan lebih dulu memahami makna lakuning urip sing kudu nganggo ngelmu (perjalanan hidup hendaklah berbekal pengetahuan).
Dari mana pengetahuan pertama itu didapatkan? Dari membaca kisah hidup (pengalaman) nenek-moyang. Itulah terjemahan simbol mecaki jadah werna pitu (menginjak jadah tujuh warna).
Mungkin Anda baru tahu bahwa jadah itu adalah manifestasi lambang jaddun/jaddatun dari bahasa Arab yang arti leksikalnya 'kakek/nenek' atau moyang hingga leluhur sekian tingkatan. Rupa jadah yang hingga tujuh warna itu adalah lambang aneka-ragam kisah hidupnya --tentu saja juga aneka ragam tabiatnya. Segala kisah mereka laik dibaca dan dipetik hikmahnya, tapi tak semua tabiatnya laik diteladani. Sing becik kudu ditiru, sing ala kudu disingkiri (yang baik harus dicontoh, yang buruk harus dihindari).
Seandainya saja para orangtua yang sedang mitoni bayinya mampu membaca isyarat itu. Bukankah itu modal parenting yang milangoni? Bukankah hijrah yang pertama adalah transformasi dari kejahilan menuju kealiman; dari kebodohan beralih ke kecerdasan; dari kebebalan menjadi kemauan? Sejatine urip ora suwung.
Nanti di usia menjelang remaja, akan sampailah anak Jawa pada inisiasi pendewasaan tahap lanjutan yang bernama tetakan/tetesan. Tetakan (sunat) bagi anak laki-laki Jawa tak sekadar hal ikhtiar kesehatan alat reproduksi. Inilah wanci menginisiasi anak menuju bebrayan agung alias lingkungan sosial yang riskan persinggungan.
Mari membaca sasmita dalam sebentuk bangunan bernama Bangsal Maligi. Itulah ruangan khusus tempat khitannya para pangeran. Ruang pendhapan beratap limasan, bertiang delapan. Tepat berdiri di depan Sasana Sewaka (balairung) kedhaton Surakarta. Bernama "maligi", dari kata dasar "baligh" (bahasa Arab) yang artinya 'dewasa'. Maligi artinya 'mendewasakan'. Bangsal Maligi artinya 'ruang pendewasaan'. Tepat di depan Sasana Sewaka siratannya adalah bahwa pengabdian kepada negeri ini harus berbekal kedewasaan yang indikasinya berupa kesiapan srawung di jagad jembar.
Apa prasyaratnya? Pahamilah delapan tiang yang mendukung Bangsal Maligi itu. Tentu Anda ingat lakon wayang Wahyu Makutha Rama atau juga piwulang Astha Brata. Delapan sifat meneladani sifat elemen semesta itulah prasyarat kedewasaan sebagai modal pergaulan di tengah medan pengabdian kepada tanah-air dan bangsa.
Seandainya para orangtua yang menyunatkan anak lelakinya memahami lambang ini tentu tak akan kebingungan lagi menunjukkan jalan hijrah untuk putera dan dirinya sendiri. Tak perlu sangsi terhadap definisi, esensi hijrah pada tahapan ini adalah kesanggupan membaca tanda semesta. Sejatine urip iku ora ijen.
Nanti di saat anak-anak Anda bertemu jodohnya, terjadilah inisiasi bernama perkawinan yang mengubah status mereka. Si Putera jejaka segera bernama suami. Si Puteri perawan segera bernama isteri.
Sehari sebelum prosesi pernikahan ada ritual Siraman: memandikan calon mempelai; mensucikan lahir-batin calon suami/isteri. Malam harinya kesucian lahir-batin itu diuji dengan ritual bernama Midadareni. Calon isteri harus melepaskan segala aksesoris yang lazim melekat di badan dalam kesehariannya. Dia harus meyakini sepenuh kesadaran lahir-batinnya bahwa kecantikan paripurna --laiknya kecantikan bidadari-- adalah kecantikan yang berasal dari dalam diri, bukan dari emas-permata dan wastra yang selama ini sering menjadi aling-aling kesejatiannya. Sing bagus lan ayu iku dudu rupaning raga sing dipaes lan direngga. Bagus lan ayu iku dunung ana ing solah-bawa sing ngugemi tatakrama. Sejatine urip iku blaka tanpa aling-aling.
Esok harinya, dalam prosesi perkawinan Anda akan menjumpai banyak lambang berupa sajen (sesajian). Ada Sega Adhem-Adheman: sajian nasi berlauk sayur dan telur tanpa dibumbui garam dan lainnya. Inilah lambang permohonan anugerah kedamaian berkeluarga dan bermasyarakat. Juga merupakan simbol kesanggupan andil menciptakan ketenteraman. Praktiknya: jangan gemar membumbui kata-kata. Bukankah tabiat membumbui kabar itu adalah awal lahirnya hoax?
Ada sajen bernama Sega Golong Lulut: segumpal nasi dibentuk silinder dialasi dan ditutupi selingkar telur dadar sebagai lambang permohonan agar dianugerahi keadaan hubungan yang gumolong (kompak) dan lulut (erat) tanpa sekat perbedaan status sosial dan sekian banyak identitas pembeda. Juga adalah simbol kesanggupan merekayasa hubungan sosial yang dinaungi kearifan. Bukankah ini juga lambang yang mestinya dibaca oleh para politikus di tahun politik supaya sadar betapa beresikonya politik identitas bagi keutuhan sosial?
Ada lagi sajen bernama Rujak Degan. Rupanya tentu sesuai namanya: minuman segar berbahan utama air dan daging kelapa muda. Maksudnya sebagai simbol permohonan agar dianugerahi bregas-waras (kesehatan raga dan jiwa). Tentu juga sebagai lambang kesanggupan merawat diri sendiri dan liyan agar sehat lahir-batinnya. Betapa pentingnya "rujak degan" itu pada masa kini di mana banyak orang sakit raga sekaligus jiwanya oleh karena haus eksistensi. Betapa sia-sianya kata yang terucap setiap detiknya didorong ambisi memenangkan perdebatan tanpa substansi hanya demi agar diakui sebagai manusia berakal dan bernyali. Padahal semakin banyak bilangan rekor kemenangan kita malah semakin menegaskan bukti bahwa kian banyak orang memilih mengalah karena tak tega berlarut-larut menyaksikan ketololan kita.
Ada juga sajen Jangan Padhamara: olahan sayur kangkung dan daging berbumbu bawang merah, bawang putih, daun salam, lengkuas, ketumbar, jinten, gula, asam jawa, terasi dan garam. Inilah simbol doa agar mendapatkan karunia berupa kerukunan. Padhamara artinya 'berdatangan'. Terkandung makna imperatif supaya kita sanggup menciptakan iklim sosial yang teduh sehingga tak ada anggota masyarakat yang terkucilkan atas nama apa saja. Sejatine urip iku mung luru rahayu.
Sayangnya kita adalah sekumpulan manusia yang hanya bangga karena sugih teori tanpa sadar bahwa sesungguhnya mlarat implementasi. Akan sampai kapan kejawaan kita hanya bersifat ornamental begini?
Seandainya semua simbol itu tak membusuk sebagai simbol namun bertransformasi sebagai ekspresi sehari-hari, alangkah eloknya Jawa; alangkah indahnya kita.
Andai saja semua tahapan transformasi manusia Jawa itu dilalui dengan pemahaman dan tindakan yang runtut, apakah kiranya masih perlu hari ini kita meributkan istilah hijrah?
Hijrah itu keniscayaan. Petunjuk jalan hijrah via sudut pandang kebudayaan Jawa sudah gamblang. Apa lagi yang hendak kita pertentangkan? Apa saja yang kiranya meragukan?
Sistem pendidikan gagrag Jawa itu jelas. Parenting cengkok Jawa itu jelas. Leadership cakrik Jawa itu jelas. Kesehatan ala Jawa itu jelas. Spiritualisme Jawa itu jelas. Hanya manusianya yang sering bertingkah tak jelas. Apakah kita sudah sangat kalah dengan diri kita sendiri sehingga tak sanggup untuk sekali lagi saja mengatakan, "aku kudu njawa," yang artinya 'aku harus mengerti'.
Boleh saja tetiba berniat luru rahayu (memrioritaskan tercapainya keselamatan) bahkan sekalipun dengan ungkapan sakti memayu hayuning bawana. Boleh saja ujug-ujug bersumpah sejak sekarang tak akan sembunyi di balik kepalsuan. Boleh saja mak bedunduk secara diplomatis menyatakan kesadaran komprehensif akan kehidupan ini. Tapi semua itu akan mandheg di rupa wadhag jika tanpa dimulai dari kesadaran bahwa sejatinya diri ini suwung. Lalu suwung inilah yang pertama-tama harus diatasi dengan cara mengisikan sesuatu. Sesuatu itu bernama ilmu. Wong Jawa kudu tansah sinau.
Oleh : Sinarendra Krisnawan