Tinjauan Fungsi Dan Makna Upacara Tradisi Nyadran Di Dusun Poyahan Seloharjo, Pundong, Bantul Yogyakarta




A. Pendahuluan

Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beragam kebudayaan. Kebudayaan sendiri mempunyai arti sebagai hasil cipta dan karya manusia yang meliputi ilmu pengetahuan, kepercayaan atau agama, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Hal yang paling mendasar dalam cakupan kebudayaan adalah religi, karena berhubungan dengan kehidupan batin manusia. Melalui religi, hubungan manusia dengan Tuhan atau makhluk gaib lainnya terus terbina, sehingga hidupnya terasa lebih tentram. Namun demikian, dalam menjalankan suatu pekerjaan tidak semuanya dapat dicapai dengan lancar, tetapi sering mengalami hambatan dan gangguan baik dari faktor alam maupun dari faktor lain.

 Pada dasarnya mereka tidak menghendaki gangguan dan hambatan yang sulit dipecahkan tersebut. Sesuai dengan keterbatasan akal, kemampuan, dan pikirannya, mereka berusaha meminimalisir hambatan tersebut melalui upacara atau ritual yang bersifat religius, karena mereka mempercayai adanya kekuatan di luar kemampuan manusia. Kekuatan di luar kemampuan manusia tersebut dapat diartikan sebagai kekuatan supernatural atau kekuatan gaib seperti roh nenek moyang pendiri desa dan roh leluhur yang dianggap masih memberikan perlindungan kepada keturunannya. Mereka percaya bahwa upacara selamatan yang mereka lakukan secara bersama-sama tersebut akan mendatangkan berkah dan keselamatan bagi desanya, warga masyarakat, ataupun dirinya.

Masyarakat Jawa mengenal berbagai macam upacara adat selamatan antara lain: upacara adat yang berhubungan dengan daur hidup atau perjalanan hidup seseorang seperti upacara adat sebelum seseorang lahir, sesudah lahir, dan sesudah meninggal; upacara adat yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup seperti membangun rumah, membuat jalan baru, membuat sumur, memulai tanam padi dan sesudah menuai padi; upacara adat yang berhubungan dengan peristiwa tertentu seperti Bersih Desa, Saparan, Ruwahan, Sawalan, Kupatan, Nyadran, Suran, dan lain-lain.

Pelaksanaan upacara adat yang berhubungan dengan peristiwa tertentu terdapat di berbagai daerah antara lain di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Upacara-upacara adat tersebut misalnya: Bersih Desa yang dilaksanakan di daerah Wonosobo, Klaten, Sleman, dan Bantul; Kupatan Jalasutra di daerah Piyungan Bantul; Suran di daerah Wonosobo, Solo, Klaten, dan Yogyakarta; Nyadran di daerah Klaten, Sleman, dan Bantul.

Pelaksanaan upacara adat yang berhubungan dengan peristiwa tertentu terdapat di berbagai daerah antara lain di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Upacara-upacara adat tersebut misalnya: Bersih Desa yang dilaksanakan di daerah Wonosobo, Klaten, Sleman, dan Bantul; Kupatan Jalasutra di daerah Piyungan Bantul; Suran di daerah Wonosobo, Solo, Klaten, dan Yogyakarta; Nyadran di daerah Klaten, Sleman, dan Bantul.

Upacara adat Nyadran yang terdapat di Kabupaten Bantul salah satunya adalah upacara yang diselenggarakan di Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul. Pelaksanaan upacara tradisional Nyadran di Dusun Poyahan ini berbeda dengan pelaksanaan upacara tradisional Nyadran pada umumnya. Salah satu perbedaan tersebut terletak pada waktu pelaksanaannya. Jika upacara tradisional Nyadran umumnya dilaksanakan pada bulan Ruwah dengan perhitungan bulan tahun Jawa, Nyadran  di dusun ini dilaksanakan dengan perhitungan pranata mangsa, yaitu mangsa kapat namun dapat juga dilakukan pada mangsa kalima jika pada mangsa kapat tidak terdapat hari Rabu Kliwon atau sebab yang lain.

Menurut perhitungan pranata mangsa, mangsa kapat dan mangsa kalima atau sering disebut sebagai mangsa labuh adalah masa peralihan musim dari musim kemarau ke musim penghujan. Hal ini dapat diketahui dari candraning atau  indikator mangsa kapat dan limaMangsa kapat dengan indikator “waspa kumembeng jroning kalbu” atau air mata tergenang dalam batin, yang ditafsirkan sebagai keadaan pepet sumber atau sumber air dalam keadaan minimum. Sedangkan mangsa lima dengan indikator “pancuran emas sumawur ing jagad” atau menandakan emas ibarat disebar, yang umumnya ditafsirkan sebagai permulaan musim hujan. Sebagai masyarakat agraris, penduduk Dusun Poyahan pada mangsa kapat tersebut mulai mengalihkan pertaniannya dari tanaman palawija seperti kacang, jagung, sayur-sayuran, dan cabai dengan tanaman padi. Mereka mulai menyebar benih padi yang mencakup benih di pembibitan maupun benih yang ditanam langsung di lahan sebagai padi gogo. Penyebaran benih maupun  penanaman padi memerlukan pengairan yang cukup, sehingga keberadaan air merupakan hal yang pokok untuk menunjang pertaniannya. Berkaitan dengan diadakannya upacara Nyadran, menurut kepercayaan mereka upacara tersebut dapat mendatangkan berkah keselamatan dan keberhasilan dalam pertaniannya.

Penyelenggaraan upacara Nyadran menurut masyarakat Dusun Poyahan pada dasarnya adalah untuk memohon berkah agar sumber mata air Surocolo tidak kering dan mati, sehingga selain dapat dialirkan ke rumah-rumah penduduk juga dapat dialirkan pada lahan-lahan pertanian. Sumber mata air ini digunakan untuk keperluan sehari-hari dan untuk pengairan sawah oleh warga masyarakat terutama warga Dusun Poyahan. Dusun tersebut terletak di lereng perbukitan sehingga lebih mudah mendapatkan air minum dari sumber mata air Suracala daripada membuat sumur.

B. Nyadran di Suracala

Upacara tradisional Nyadran ini tidak pernah dilewatkan setiap tahunnya, karena upacara ini memiliki fungsi dan tujuan tertentu bagi masyarakat pendukungnya. Menurut masyarakat Dusun Poyahan, pelaksanaan upacara Nyadran ini didasarkan pada kisah Sunan Mas (Sunan Amangkurat III) yang mengadakan selamatan atas kemenangannya, perang melawan Bupati Pati (Pragulapati) pada jaman Kasultanan Mataram. Sesuai perkembangan jaman, upacara tersebut digunakan sebagai sarana permohonan berkah keselamatan dan keberhasilan masyarakat dalam mengolah lahan pertaniannya.

 Tempat pelaksanaan upacara Nyadran ini dipusatkan di Dusun Poyahan RT 3 Suracala tepatnya di sekitar lokasi sumber mata air dan Goa Sunan Mas. Waktu pelaksanaan upacara tersebut didasarkan pada perhitungan pranata mangsa yaitu setiap hari Rabu Kliwon pada mangsa kapat atau bisa dilaksanakan pada mangsa kalima. Masyarakat berharap dengan diadakannya upacara Nyadran tersebut, air yang berasal dari sumber mata air Suracala, selain dapat terus dialirkan ke rumah-rumah penduduk dapat juga digunakan untuk mengolah lahan pertaniannya.

Folklor upacara tradisional Nyadran merupakan tradisi yang diciptakan rakyat dan telah berlangsung lama. Kapan munculnya dan siapa yang pertama kali melaksanakan upacara tradisional tersebut sampai saat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti. Menurut cerita yang berkembang di dusun tersebut, upacara Nyadran bermula dari kisah Sunan Mas yang mengadakan selamatan atas kemenangan Mertalaya perang melawan Pragulapati pada masa Kasultanan Mataram. Sesuai dengan perkembangannya, maka upacara tersebut dilaksanakan sebagai sarana permohonan keselamatan; agar sumber mata air Suracala tidak kering dan mati; serta permohonan kemakmuran dan keberhasilan masyarakat Dusun Poyahan dalam mengolah lahan pertaniannya.

Upacara tradisional Nyadran di Dusun Poyahan dilaksanakan pada hari Rabu Kliwon mangsa kalima. Prosesi upacara Nyadran di Dusun Poyahan terbagi dalam dua tahap, yaitu: (1) persiapan, yang meliputi: (a) membersihkan lingkungan sumber mata air Suracala; (b) pengadaan sajen penyembelihan; (c) penyembelihan kambing dan ayam; (d) pembuatan oblok-oblok, gulai daging kambing, dan ingkung ayam; serta (e) penataan sajen rasulan, (2) pelaksanaan, yaitu: (a) pembagian oblok-oblok daging kambing pada anak-anak yang membawa sajen trinilan; dan (b) kenduri Nyadran.

C. Makna Simbolik Ubarampe Upacara

Makna simbolik perangkat upacara tradisional Nyadran di Dusun Poyahan Seloharjo Pundong Bantul adalah sebagai berikut :

  1. Korban kambing bermakna sebagai tanda syukur, simbol kemenangan Sunan Mas, dan simbol keikhlasan manusia dalam hal korban harta benda untuk mendapatkan ketentraman hidup. Korban kambing dan ayam bermakna sebagai korban persembahan kepada sing mbaureksa sumber air Suracala, agar sumber air tersebut tidak mati sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Dusun Poyahan untuk memenuhi kebutuhan air sehari-harinya. Kambing dan ayam yang disembelih dengan darah yang dikucurkan dan bercampur dengan air sendang bermakna agar warga selalu rukun, tentram, dan selalu mendapatkan anugrah-Nya.
  2. Sesaji penyembelihan kambing dan ayam yang meliputi :
    a) Kembang menyan mempunyai makna simbolik agar masyarakat selalu mengharumkan nama leluhur mereka. Kemenyan yang dibakar dan mengepulkan asap mempunyai makna agar roh-roh penunggu dusun atau sing mbaureksa membantu permohonan mereka. Kemenyan merupakan benda kesukaan makhluk halus, dengan disediakan kemenyan diharapkan makhluk halus tidak akan mengganggu jalannya upacara.
    b) Kinang suruh ditujukan kepada makhluk halus berjenis wanita, dan udud ditujukan kepada makhluk halus berjenis laki-laki sebagai penolak kekuatan jahat supaya tidak mengganggu.
    c) Uang wajib bermakna sebagai ucapan terima kasih kepada kaum/modin yang telah membantu doa.
    d) Jajan pasar bermakna agar rakyat mendapatkan kekuatan dan kemudahan dalam mengerjakan sawahnya, serta dengan adanya jajan pasar maka sesaji yang telah disediakan sudah lengkap dan siap untuk dipersembahkan.
    e) Srabi abang dan srabi putih ditujukan untuk makhluk halus dengan nyrabani (mendoakan) agar tidak mengganggu jalannya upacara. Makna lain melambangkan kesucian hati dan keberanian masyarakat untuk menjalani kehidupannya.
    f) Gula klapa melambangkan rujak degan, jika diminum terasa segar, tentram. Bermakna agar warga selalu mendapat anugrah keselamatan dan ketentraman.
    g) Pisang raja melambangkan adanya harapan agar warga selalu diberi anugrah kebahagiaan, keselamatan dan ketentraman dalam menjalani hidup layaknya seorang raja.
  3. Sajen Rasulan bermakna sebagai simbol agar umat Islam selalu ingat Nabi Muhammad SAW dengan bershalawat serta mengingat Tuhan sehingga mendapatkan berkah dari-Nya. Sajen rasulan dalam upacara Nyadran di Dusun Poyahan ini meliputi:
    a) Sega golong sebagai perangkat upacara bermakna sebagai simbol kebulatan tekad masyarakat dalam menjalankan pekerjaannya.
    b) Sega gurih bermakna semacam penjabaran/tanda bakti kepada Nabi Muhammad SAW, diharapkan nantinya masyarakat senantiasa selamat  dan ayem tentrem mendapat barokahnya.
    c) Sega liwet bermakna sebagai ucapan terima kasih atas segala nikmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan adanya nasi ini maka manusia dapat terhindar dari kelaparan.
    d) Ingkung ayam melambangkan penghormatan kepada leluhur dan simbol kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
    e) Oblok-oblok daging kambing melambangkan masakan kesukaan sing mbaureksa dusun tersebut agar tidak mengganggu, di samping bermakna sebagai simbol kebersamaan dalam ngalab berkah.
    f) Kembang menyan merupakan aroma pengharum yang mempunyai makna untuk mengharumkan nama leluhurnya, serta bermakna agar roh-roh penunggu membantu permohonan mereka.
    g) Uang wajib bermakna sebagai ucapan terima kasih kepada kaum/modin yang telah membantu doa.
  4. Sesaji trinilan yang disediakan oleh masyarakat untuk dimintakan oblok-oblok daging, merupakan lambang permohonan berkah (ngalab berkah) keselamatan, kemakmuran, dan keberhasilan dalam menjalankan usahanya.

D. Fungsi Upacara Tradisional Bagi Masyarakat

Fungsi upacara tradisional Nyadran di Dusun Poyahan Seloharjo Pundong Bantul adalah sebagai berikut:

  1. Upacara tradisional Nyadran mempunyai fungsi spiritual. Hal ini dapat dilihat dari tujuan upacara tersebut, yaitu untuk memohon berkah agar sumber air Suracala tidak mati, mengucap rasa syukur kepada Tuhan, tolak bala, memohon keselamatan dalam menghadapi musim tanam, serta mendapatkan panen yang baik. Fungsi spiritual dalam upacara Nyadran tersebut menggambarkan adanya usaha manusia untuk menjaga keseimbangan alam melalui penyelenggaraan upacara adat. Dengan kearifan lokal tersebut diharapkan masyarakat akan selalu mendapatkan anugrah keselamatan dan kemakmuran hidup dari Tuhan Sang Pencipta Alam.
  2. Upacara tradisional Nyadran berfungsi sosial, karena dapat digunakan sebagai media sosial untuk menciptakan kerukunan, kebersamaan,  kegotong-royongan, integritas, solidaritas, dan komunikasi di antara masyarakatnya. Sebagai pengendali sosial, yaitu dengan masih dilaksanakannya upacara tersebut sebagai sarana permohonan berkah keselamatan agar tidak mendapatkan murka dari sing mbaureksa dusun tersebut.
  3. Upacara tradisional Nyadran berfungsi sebagai nilai ekonomi, yaitu dengan adanya kegiatan masyarakat yang menyiapkan ubarampe dengan belanja di pasar dan adanya kegiatan jual beli makanan/minuman di sekitar lokasi upacara.
  4. Upacara tradisional Nyadran berfungsi sebagai hiburan, yaitu dengan adanya kesenian yang ditampikan oleh masyarakat pada saat jelang dan pelaksanaan upacara. Kesenian berupa tari-tarian dan juga pagelaran Uyon-uyon Karawitan ini mampu menyedot perhatian masyarakat. Selain itu adapula arak-arakan kelompok masyarakat yang memperagakan potensi daerahnya.
  5. Upacara tradisional Nyadran berfungsi sebagai pelestarian tradisi, yaitu dengan adanya sikap masyarakat yang tidak berani meninggalkan  upacara Nyadran. Masih dilaksanakannya upacara Nyadran di Dusun Poyahan karena adanya fungsi, sehingga upacara tersebut tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.

E. Penutup

Keberadaan upacara tradisional Nyadran di Dusun Poyahan, berkaitan erat dengan fungsi spiritual karena upacara tradisional Nyadran bertujuan untuk memohon keselamatan, kemakmuran, dan agar sumber mata air Suracala tidak kering dan mati sehingga pemenuhan kebutuhan air baik untuk kehidupan sehari-hari maupun untuk pengolahan lahan pertanian akan tercukupi. Dengan adanya pola pikir dan pendidikan yang lebih maju terutama generasi muda, maka ada kemungkinan keberadaan upacara tradisional Nyadran ini akan terancam hilang. Namun demikian, selama fungsi-fungsi upacara tersebut masih dipegang teguh oleh masyarakat dengan dukungan pemerintah daerah setempat, maka tentu upacara tersebut akan terus lestari dan dipegang teguh oleh masyarakat pendukungnya.

Oleh : Sumaryono, S.Pd.,M.A (Guru Bahasa Jawa SMA Negeri 1 Gamping Sleman Yogyakarta)

Referensi :

Bratawidjaja, Thomas Wiyasa. 1988. Upacara Tradisional Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Danandjaja. 1984. Folklor Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Grafiti pers

Herusatoto, Budiono. 2005. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita

Asal-usulipun Tumenggung Mertanegara saha Demang Suradikrama ing Biro (Serat Kekancingan RM. Hadiwitana)





img

Jogja Belajar Budaya

JB Budaya adalah salah satu layanan unggulan Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan DIY yang terintegrasi dengan jogjabelajar.org. JB Budaya merupakan media pembelajaran berbasis website yang mempelajari tentang budaya-budaya di Yogyakarta.




Artikel Terkait

Artikel yang juga anda sukai

Tembang Mijl

Tembang Mijl merupakan menggambarkan keadaan ketika bayi dilahirkan setelah ± 9 bulan berada di rahim sang ibu dengan kehendak Tuhan bayi lahir ke....

Baca Selengkapnya