Busana adat Jawa biasa disebut dengan busana kejawen yang mana mempunyai perumpamaan atau pralambang tertentu bagi orang Jawa yang mengenakannya. Busana Jawa penuh dengan piwulang sinandhi, kaya akan suatu ajaran tersirat yang terkait dengan filosofo-filosifi Jawa.
Ajaran dalam busana kejawen ini merupakan ajaran untuk segala sesuatu di dunia ini berkaitan dengan aktivitas kita sehari-hari,baik dalam hubungan dengan manusia, diri sendiri maaupun Tuhan Yang Maha Kuasa Pencipta segalanya.
Pakaian adat yang digunakan dalam busana kejawen pada bagian kepala atau atas tubuh terdapat iket, udheng. Pada bagian tubuh ada rasukan (baju) seperti jarik, sabuk, epek, timang. Kemudian pada bagian bawah kaki yaitu candela.
Pada awalnya sejak berdiri Keraton hadiningrat pada tgl 13 Maret 1755 sampai dengan pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan pemerintahan Kanjeng Gusti Pangeran Adi Pati Arya pakulam I hingga Kanjeng Gusti Pangeran Adi Pati Arya VI telah dikenal Busana Kejawen Jangkep Kebudayaan Ngayogyakarto Hadiningrat. Sejak Kanjeng Gusti Pangeran Adi Pati Arya VI dikenal dengan 2 gaya busana kebudayaan Busana Kejawen Jangkep yaitu Busana Kejawen Jangkep Kasultanan Ngayogyakarto Hadiningrat dan Busana Kejawen Jangkep Istana Pura Pakualaman Busana.
Busana atau Pakaian atau Pengageman yg melekat merupakan identitias bagi jati diri si pemakai. Ada idiom jawa "Kangge nganggo dadio sarono hamemangun watak njobo njero" , artinya pemakai busana disamping menjaga keselamatan dan kesehatan dari marabahaya juga untuk membangun jati diri setiap bangsa.
Ada ideom jawa lainnya "busana rasa bawa" artinya berbagai macam busana yang kita pakai di berbagai kesempatan akan berbeda pula sikap dan perilakunya sesuai dengan busana yang melekat.
Busana juga dipandang sebagai cerminan stratifikasi sosial dan tingkat peradaban suatu bangsa. Seorang raja, pangeran, kerabat kraton, abdi dalem dan masyarakat umum memiliki sratifikasi sosial yg berbeda pula dan tentunya busana yang dikenakan di berbagai acara pun mengalami perbedaan.
Ajining diri saka lathi , Ajining raga utawa salira saka busana artinya dimana orang jawa memehami betul arti penting berpakaian bahwa antara jiwa dan raga perlu perhatian kusus agar dirinya mendapat penghormatan yang layak. Terlebih-lebih dalam upacara resmi dan adat perhatian orang pertama kali tertuju pada situasi yang dapat dilihat oleh mata. salah satu daya tarik penampilan sesorang sepanjang dalam kondisi selaras, harmoni, sesuai kondisi pribadi postur tubuh, warna kulit, serta dimensi ruang dan waktu beserta keperluan tujuannya. Disini kedaan fisik mendapat penilaian, berkaitan dengan itu tidak keliru bila orang jawa memiliki tradisi Ngadi salira, ngadi busana.
Dalam berbusana laki-laki yogyakarta anda perlu menyiapkan beberapa perlangkapan kain jarik, batik gaya yogyakarta, sabuk / lonthong , kamus timang, sorjan, keris baik branggah atau gayaman gaya yogyakarta, selop (atela), peranakan, blankon, canela atau slop.
Sedangkan busana untuk perempuan adat yogyakata, perlengkapan yg harus disiapkan jarik batik gaya yogyakarta, stagen, streples, kamisol atau kemben, kebaya gaya kartini atau kutubaru, gelung tekuk beserta lungsen, slop tertutup atau terbuka. perhiasan yang disiapkan adalah subang, tusuk tlesepan, dan bros