Pendahuluan
Legenda aksara Jawa di kalangan masyarakat Jawa tidak bisa lepas dari kisah Prabu Ajisaka. Cerita ini bermula ketika Ajisaka hendak bepergian, lalu dua abdinya yakni Dora dan Sembada, masing-masing diberi tugas. Sembada harus menjaga sebuah keris pusaka, dan diberi pesan agar tidak memberikan pusaka tersebut kepada siapapun juga kecuali Ajisaka sendiri yang mengambil. Dora diajak untuk pergi mengikuti Ajisaka. Suatu saat ketika Ajisaka memerlukan keris tersebut, Dora diperintahkan untuk mengambil di tempat Sembada. Konon Sembada tidak mau memberikan keris pusaka tersebut karena mematuhi pesan dari Ajisaka. Dora dan Sembada kemudian bertengkar hingga akhirnya keduanya mati bersama ( Wulan, 2021: 311). Kematian dua abdi tersebut menimbulkan kesedihan yang mendalam dalam diri Ajisaka. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya, Ajisaka kemudian menciptakan deretan aksara yang disebut dengan aksara carakan.
Aksara carakan terdiri dari dua puluh suku (silabik) Meskipun ‘hanya’ terdiri dari dua puluh suku kata, namun tidak semua warga masyarakat Jawa khususnya generasi muda mampu membaca maupun menulis aksara Jawa. Hal ini sungguh memprihatinkan. Kondisi tersebut mungkin disebabkan kurangnya kebanggaan, rasa memiliki, kepercayaan diri dan semangat generasi muda terhadap pemakaian aksara Jawa. Jika dibiarkan, maka bukan tidak mungkin aksara Jawa akan mengalami kepunahan.
Kebanggaan, rasa memiliki, kepercayaan diri dan semangat terhadap pemakaian aksara Jawa mutlak ditanamkan kepada setiap generasi muda. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan jiwa tersebut yaitu dengan meneladani jiwa patriot para pahlawan. Banyak sekali tokoh pahlawan yang bisa dijadikan sebagai teladan, satu diantaranya adalah Pangeran Mangkubumi. Jiwa patriot atau patriotisme adalah semangat cinta tanah air atau sikap seseorang yang rela mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya (Suprapto dkk., 2007: 38). Adapun Rashid (2004: 5), menyebutkan bahwa nilai patriotisme adalah kesetiaan, keberanian, rela berkorban, serta kecintaan pada bangsa dan negara. Berdasarkan dua pendapat di atas dapat diambil definisi bahwa patriot atau patriotisme adalah sikap manusia yang memiliki keberanian, rela berkorban, setia dan cinta tanah air untuk kebesaran bangsa maupun Negara. Dalam konteks ini adalah cinta, bangga, rasa handarbeni, kepercayaan diri dan semangat terhadap pemakaian aksara Jawa agar Anjayeng Bawana.
Pangeran Mangkubumi melakukan perlawanan terhadap VOC dan diakhiri dengan penandatanganan perjanjian Giyanti. Perjanjian ini berisi pembagian wilayah kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat. Semangat patriotisme yang tertanam di dalam diri Pangeran Mangkubumi untuk mewujudkan cita-citanya adalah watak sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh. Jiwa patriot Pangeran Mangkubumi ini mampu mewujudkan kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi kokoh, kuat, makmur, dan sentosa.
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini bertujuan untuk meneladani jiwa patriot Pangeran Mangkubumi yaitu watak sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh sebagai landasan untuk mewujudkan aksara Jawa anjayeng Bawana.
Pembahasan
Keberhasilan Pangeran Mangkubumi dalam mewujudkan cita-citanya tidak lepas dari jiwa patriot seorang ksatria. Jiwa patriot Pangeran Mangkubumi tersebut adalah watak sawiji, greget, sengguh, dan ora mingkuh. Berlandaskan watak-watak tersebut, maka diharapkan aksara Jawa anjayeng Bawana bisa terwujud. Adapun penjabaran dari jiwa patriot Pangeran Mangkubumi untuk mewujudkan aksara Jawa anjayeng Bawana adalah sebagai berikut.
- Sawiji "fokus"
Sawiji berarti satu (Poerwadaminta, 1939 : 549). Dapat dimaknai pula sawiji adalah konsentrasi (Pergub, 2008). Konsentrasi berarti fokus; tidak terpecah belah; mampu memusatkan secara total hati, pikiran, maupun tindakan untuk satu tujuan serta dapat menahan setiap godaan yang ada .
Pangeran Mangkubumi dalam memperjuangkan harga diri Kerajaan Mataram dari pengaruh serta campur tangan VOC selalu dilandasi keteguhan dan fokus terhadap tujuan yang akan dicapai. Dengan penuh kayakinan serta tekad yang kuat Pangeran Mangkubumi melepaskan kenikmatan yang biasa dirasakan sebagai seorang bangsawan Jawa. Pangeran Mangkubumi dalam perjuangannya selalu fokus pada cita-cita yaitu menjadi bangsa yang merdeka. Pada akhirnya Pangeran Mangkubumi berhasil mewujudkan cita-citanya. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kerajaan besar dan mampu menciptakan kemakmuran bagi rakyatnya.
Berkaca dari watak nyawiji ‘fokus’ dari Pangeran Mangkubumi, maka upaya untuk mewujudkan aksara Jawa anjayeng Bawana hendaknya memfokuskan pada satu tujuan yaitu aksara Jawa semakin lestari berkembang bahkan mendunia. Tidak hanya bagi masyarakat Jawa, namun bagi seluruh bangsa Indonesia di kancah perkembangan global. Hal ini tentu tidaklah mudah. Banyak godaan yang akan merintangi. Kehadiran aksara-aksara dari negara lain yang ditampilkan melalui media-media massa dapat menggerus kebanggaan terhadap penggunaan aksara Jawa. Generasi muda lebih nyaman dan percaya diri ketika bisa membaca maupun menulis menggunakan aksara dari negara lain. Aksara Jawa dianggap rumit, sulit, dan kuna. Tidak ada kebanggaan untuk menggunakan aksara Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Maka, perlu upaya untuk menanamkan kebanggaan terhadap pemakaian aksara Jawa.
Diadakannya lomba-lomba terkait aksara Jawa, didirikannya sanggar-sanggar aksara Jawa dan pembinaan dari lembaga yang secara khusus membidangi pelestarian aksara Jawa merupakan sebagian upaya untuk menanamkan kecintaan terhadap aksara Jawa. Kehadiran lembaga yang secara khusus fokus dalam upaya pelestarian aksara Jawa di dukung oleh semua elemen masyarakat, maka harapan aksara Jawa anjayeng Bawana akan terwujud. - Greget “semangat”
Greget berarti melakukan tindakan dengan dilandasi jiwa penuh semangat juang (Poerwadarminta, 1933: 163, Pergub, 2008 ). greget merupakan dinamika semangat atau api yang membara di dalam jiwa seseorang untuk berjuang dalam mencapai cita-cita. Perjuangan Pangeran Mangkubumi dilatarbelakangi oleh pertimbangan politik dan sosial. Sebagai seorang pemimpin, Pangeran mangkubumi mempunyai keberanian; gigih, penuh semangat, tidak mengenal putus asa, pantang menyerah dan mampu menumbuhkan semangat juang kepada seluruh prajuritnya. Jiwa patriot inilah yang kemudian membawa keberhasilan Pangeran Mangkubumi dalam memenangkan serta menaklukkan daerah-daerah di sekitarnya.
Bercermin dari jiwa patriot Pangeran Mangkubumi yang penuh semangat dalam berjuang, maka sudah sepantasnyalah watak greget ini ditanamkan kepada setiap warga masyarakat Jawa. Semangat pantang menyerah dalam belajar baik menulis maupun membaca aksara Jawa. Terlebih pada saat ini teknologi semakin maju; serba digitalisasi dan aplikasi, maka dituntut untuk melek informasi.Tidak hanya di dalam dunia pendidikan saja, namun semua lini harus saiyeg saeka praya ‘satu tekad satu tujuan” dan bahu membahu untuk mewujudkan aksara Jawa anjayeng Bawana. Jika masyarakat Jawa sebagai pemilik warisan adi luhung dan edi peni tidak memiliki greget atau semangat untuk melestarikan, maka bukan hal yang tidak mungkin seandainya aksara Jawa menjadi hilang dari kehidupan.
Untuk itu upaya pelestarian aksara Jawa siapa lagi kalau bukan kita sebagai orang Jawa, dan kapan lagi kalau tidak dimulai dari sekarang. Pada akhirnya diharapkan dengan tertanamkannya jiwa yang penuh semangat dalam diri setiap warga masyarakat Jawa, maka akan terbentuk pribadi-pribadi yang hebat. Generasi yang pantang menyerah untuk selalu bangga mempergunakan aksara Jawa dalam setiap aktifitas kehidupan. - Sengguh “percaya diri’’
Sengguh berarti sikap maupun perbuatan yang mencerminkan rasa penuh percaya diri namun tetap mengedepankan kerendahan hati. Percaya diri berarti yakin harapan, kemauan, atau keinginan akan bisa terwujud. Pangeran Mangkubumi terbukti secara nyata mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang dihadapi dengan penuh percaya diri namun jauh perilaku sombong. Pangeran Mangkubumi gemar melakukan tirakat, tidak membeda-bedakan orang lain dan selalu menyatu dengan alam dan masyarakat. Hal itulah yang membentuk pribadi Pangeran Mangkubumi memiliki rasa percaya diri yang tinggi
Watak sengguh “percaya diri” Pangeran Mangkubumi hendaklah dapat ditiru oleh masyarakat Jawa terlebih generasi muda saat ini. Memang tidak mudah untuk menanamkan rasa percaya diri. Mengikuti trend dianggap lebih modern dibandingkan dengan budaya sendiri. Pemakaian aksara Jawa dianggap sudah ketinggalan jaman. Sebagian masyarakat lebih memilih aksara produk luar daripada warisan leluhur yang adi luhung dan edi peni yaitu aksara Jawa. Anak-anak lebih membanggakan diri ketika terampil dan fasih membaca ataupun menulis aksara milik negara lain dibandingkan aksara Jawa. Tidak adanya kebanggaan memakai aksara Jawa produk dalam negeri menjadi gambaran bahwa generasi muda tidak memiliki rasa percaya diri yang kuat.
Di kalangan pelajar, perasaan sungkan dan anggapan sulit untuk membaca maupun menulis aksara Jawa membawa pengaruh hilangnya rasa percaya diri. Hal ini dapat dilihat misalnya ketika siswa diberi tugas aksara Jawa sebagian besar mengerjakan dengan sembrono bahkan menyontek pekerjaan milik teman.
Untuk menanamkan jiwa sengguh “percaya diri”, bangga, mencintai, dan memakai aksara Jawa dalam kehidupan masyarakat Jawa terlebih generasi muda diantarnya dengan; membuat sistim aksara Jawa dalam format digital di media-media sosial misalnya smartphone. Hal ini sangat menarik bagi generasi muda yang sudah sangat familiar menggunakan perangkat tersebut. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah membuat aplikasi baca dan tulis aksara Jawa, menggelar workshop ataupun pelatihan aksara Jawa, gerakan literasi aksara Jawa, mengadakan lomba-lomba terkait baca dan tulis aksara Jawa, penulisan nama lembaga, instansi maupun nama-nama daerah menggunakan aksara Jawa, dan lain-lain. Dengan adanya upaya maupun gerakan yang dilakukan dengan serempak, didukung oleh semua pihak diharapkan rasa percaya diri untuk memakai aksara Jawa di kalangan generasi muda dapat tertanam dengan kuat. Pada akhirnya aksara Jawa tetap lestari dan anjayeng Bawana. - Ora Mingkuh ’’pantang menyerah”
Ora Mingkuh terdiri dari dua kata ora ‘tidak” dan mingkuh “menghindari” (Poerwadarminta, 1939: 317) gabungan dua kata tersebut memiliki arti pantang menyerah. Jiwa patriot ora mingkuh “ pantang menyerah” Pangeran Mangkubumi dapat dilihat dari perjuangannya melawan VOC selama 9 tahun. Hingga akhirnya tercapai kesepakatan dalam sebuah perjanjian yaitu Perjanjian Giyanti (Poespaningrat, 2012: 105`).
Dari kisah perjuangan Pangeran Mangkubumi tersebut kiranya dapat dijadikan teladan bagi masyarakat terlebih generasi muda saat ini. Bahwa untuk mewujudkan cita-cita aksara Jawa anjayeng Bawana diperlukan perjuangan. Perjuangan yang dilakukan hendaknya dilandasi dengan jiwa penuh tanggung jawab dan pantang menyerah. Salah satu konsep pantang menyerah adalah sikap yang tidak mudah patah semangat dalam menghadapi berbagai rintangan, selalu bekerja keras untuk mewujudkan tujuan, menganggap rintangan/hambatan selalu ada dalam setiap kegiatan yang harus dihadapi. Masyarakat Jawa terlebih generasi mudanya tentu memiliki konsekwensi dari upaya mewujudkan aksara Jawa anjayeng Bawana yaitu adanya rintangan, maupun rintangan. Pemberian perhatian berupa reward dari pemangku kepentingan menjadi salah satu cara untuk memotivasi masyarakat dalam upaya pelestarian aksara Jawa. Melalui watak pantang menyerah, maka upaya untuk mewujudkan aksara Jawa anjayeng Bawana dapat terwujud.
Penutup
Keberhasilan perjuangan Pangeran Mangkubumi tidak lepas dari jiwa patriot yang tertanam dalam dirinya. Jiwa patriot tersebut mampu mewujudkan kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi kerajaan besar, kokoh, dan membawa rakyat menuju gemah ripah loh jinawi.
Jiwa patriot Pangeran Mangkubumi patut untuk dijadikan teladan bagi seluruh warga masyarakat Jawa dalam upaya melestarikan aksara Jawa yang menurut legendanya merupakan ciptaan Ajisaka menuju anjayeng Bawana. Seluruh warga masyarakat hendaknya memiliki kebanggaan dan kecintaan terhadap aksara Jawa. Kebanggaan itu diwujudkan dengan memakai dan menggunakan aksara Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkan kebanggaan dan kecintaan terhadap aksara Jawa yang adi luhung dan edi peni hingga anjayeng Bawana hendaknya berpegang teguh pada jiwa nyawiji (fokus), greget (semangat), sengguh (percaya diri), dan ora mingkuh (pantang menyerah).
Daftar Pustaka
Abd.Rahim Abd.Rashid. (2004). Patriotisme:Agenda Pembinaan Bangsa. Kuala Lumpur: Utusan Publications.
Pergup Nomer 72 Tahun 2008 tentang Budaya Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Poerwadaminta, W.J.S. (1939 ). Baoesastra Djawa. Batavia : J. B. Wolters Uitgevers. Maatschappij N. V. Groningen.
Poespaningrat, Pranoedjoe. (2012). Kisah Para Leluhur dan Yang Diluhurkan: Dari Mataram Kuno Sampai Mataram Baru. Yogyakarta: PT. BP. Kedaulatan Rakyat.
Suprapto dkk, (2007). Pendidikan Kewarganegaraan SMA/MA kelas 1. Jakarta: Bumi Aksara.
Wulan, Sri Hertanti. (2021). Internalisasi Pendidikan Karakter dalam Filosofi Aksara Jawa. Di muat dalam Tutur Sembur Mrih Budaya Mekar Sempulur. Yoguakarta: SPACI Book.