Perbandingan Fakta Cerita Tokoh Utama Lakon Duryudana Gugur Karya Ki Timbul Hadi Prayitno Dan Ki Manteb Soedharsono




Oleh: Sayang Ayu Setiani, S.Pd

Keberadaan wayang di Jawa sudah sangat tua, namun hingga kini masih berkembang dan masih banyak diminati masyarakat. Cerita wayang dapat disebut dengan lakon, lakon dapat di buat menjadi variasi baru yang dapat disebut dengan sanggit. Banyak dalang yang membuat sanggit-nya masing-masing, untuk memunculkan kreativitas dan inovasi baru agar pagelaran wayang kulit tidak monoton. Akan tetapi inti dari cerita tersebut tetap sama dengan ada yang di-pakem, contohnya adalah lakon Duryudana  Gugur.

Dimulai dari bedhol kayon, tokoh-tokoh yang ditugaskan sebagai senopati, senopati pengapit banyak sekali yang berbeda, tetapi inti dari pagelaran wayang kulit Duryudana Gugur itu sama, yaitu Duryudana sebagai raja Hastinapura mati ditangan Sang Werkudara. Duryudana Gugur merupakan kisah Baratayuda, kisah Baratayuda tersebut termasuk dalam kisah Mahabarata. Kisah Mahabarata merupakan cerita yang sangat populer di Indonesia. Lakon Baratayuda merupakan bagian dari naskah Mahabarata. Perang Baratayuda bermulai dari Prabu Kresna sebagai duta Pandhawa. Padhawa sudah malakukan pengasingan selama 13 tahun dengan baik. Pandhawa tidak meminta Hastinapura kembali hanya ingin meminta Amarta saja, tetapi tidak diberikan oleh Prabu Duryudana. 

Pagelaran wayang kulit itu dibedakan menjadi beberapa versi, yaitu versi Surakarta dan versi Yogyakrta. Yang berbeda tidak hanya sanggit-nya saja tetapi dapat dijumpai pada bentuk wayang, iringan gendhing yang digunakan, cengkok, siten-siten, bunyi keprak, sabetan, tidak hanya itu saja akan tetapi juga bisa berbeda dalam variasi ceritanya yang lebih khusus dalam fakta cerita yang ada. Karakter, alur, latar adalah fakta-fakta dalam cerita. Untuk mengetahui perbedaan sanggit yaitu dengan menggunakan teori sastra bandingan, sastra bandingan adalah kajian untuk mengetahui hubungan antara karya sastra dengan karya sastra lainya,  antara karya sastra dengan ilmu, anatara agama dan karya seni, hasil pemikiran dengan teori, sejarah dengan teori kritik sastra.  

Sanggit Duryudana Gugur dalam perang Baratayuda karya Ki Timbul Hadi Prayitno dan Ki Manteb Soedharsono banyak sekali perbedaanya, dimulai dari bedhol kayon sampai tanceb kayon. Lakon Duryudana Gugur termasuk perang Baratayuda akhir, matinya raja Hastinapura yang memiliki watak angkara murka, yang tega menganiaya dan merencanakan pembunuhan kepada adiknya sepupunya, hanya untuk kesuksesan dirinya dan adik-adiknya yaitu Kurawa. Setiap dalang memiliki wawasan dan kemampuan masing-masing untuk menunjukan tujuan dan kemampuanya.

Perbandingan fakta cerita dalam tokoh utama yang diambil dari lakon Duryudana Gugur karya Ki Timbul Hadiprayitno dan Ki Manteb Soedarsono karena keterbatasan halaman hanya diambil satu tokoh utama saja yaitu Prabu Duryudana.

A. KARAKTER

Karakter dapat berarti tokoh sentral (central character), yaitu berhubungan dengan peristiwa dalam cerita. Biasanya peristiwa-peristiwa itu menimbulkan perubahan, baik dalam diri tokoh maupun dalam sikap pembaca terhadap tokoh itu. Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu karakter utama yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita.

Duryudana Gugur karya Ki Timbul Hadi Prayitno ada 27 karakter yaitu Prabu Duryudana, Raden Werkudara, Patih Sengkuni, Prabu Kresna, Semar, Prabu Salya, Arjuna, Nakula, Sadewa, Kartamarma, Aswatama, Maespati, Prabu Suryagupala, Prabu Jayawiluka, Raden Antisura, Raden Surabasah, Raden Setyaki, Dewi Setyawati, Emban Sugandini, Bragaspati, Dewi Kunthi, Raden Aswatama, Patih Andakawana, Patih Surata, Patih Tuhayata, Petruk, Gareng, dan Bagong. Karakter Duryudana, Werkudara, dan Sengkuni adalah karakter utama. Selain ketiga tokoh tersebut adalah karakter penunjang. 

Lakon Duryudana Gugur karya Ki Manteb Soedharsono ada 16 karakter yaitu Prabu Duryudana, Raden Werkudara, Patih Sengkuni, Prabu Kresna, Semar, Arjuna, Kartamarma, Raden Setyaki, Dewi Banowati, Prabu Drestrarastra, Dewi Gendari, Prabu Baladewa, Raden Gajaksa, Raden Sarabasanta, Patih Gagak Bonggol, Raden Setyaka, Petruk, Gareng dan Bagong. Karakter Prabu Duryudana, Raden Werkudara dan Patih Sengkuni merupakan karakter utama. Selain ketiga tokoh tersebut adalah tokoh penunjang.

  1. Karya Ki Timbul Hadiprayitno

    "...Nalika semanten ingkang amurwaning tumambenging sungkawa, sang nata menggalih denya katemben kecalan gegedhuk nagari Ngastina inggih menikah Prabu Karna. Eling-eling Prabu Duryudana nalindra gung binathara, ratu ingkang sanadyan tumambeng sungkawa sinamudana ngantos datan kawistara..."

     

    Dalam kutipan diatas menjelaskan bahwa Prabu Duryudana adalah raja yang bisa menutupi rasa sedih dan kecewanya.

    "Sampun boten saged molat kanan kerengipun, kula aturi mbiwarakeken dinten menika, kula Duryudana madeg suraning ndriya jumeneng senopati." Sanalika udan getih.”

    Dalam kutipan diatas menjelaskan bahwa Prabu Duryudana adalah raja yang tidak sabaran tidak dapat membaca situasi yang terjadi. Dalam kalimat “sanalika udan getih” merupakan pertanda tidak baik, akan tetapi Prabu Duryudana tetap menjalankan aksinya.

    “…Nalika Duryudana lena, wentis kanan kasabet gada Lukitasari. Sanalika rumaos data nana dayane, Duryudana lumajar saking pabaratan nyemplung telenging kedhung Tuntum.”

    Dalam kutipan diatas dijelaskan bahwa Prabu Duryudana adalah raja yang penakut dan juga licik karena kabur dari peperangan untuk mencari bantuan.

    “Sampun titiwanci ngoyah-ngayuh baskara, lairipun Duryudana jagad peteng ndhedhet binarung swarane pambauning sana ajat, panggrone singa barong. Patine Prabu Duryudana tanpa beda kaliyan lairipun. Prabu Duryudana mangap sabengokan, ampeyan kagebrakaken bantala sareng kaliyan jepaplanging asta bareng pecating nyawa. Sirnaning ambeg angkara handayani katentremaning jagad raya, sirna mergalayu sang Duryudana.”

    Dalam kutipan diatas menjelaskan bahwa Prabu Duryudana adalah raja yang memiliki watak angkara murka.
  2. Karya Ki Manteb Soedarsono

    Sengkuni : “Banowati menika menapa setya? Menapa tresna kaliyan panjenengan? Tresna pancen ning kasetyan dereng kinanten manawi dhateng panjenengan. Tresnane karo Prabu Duryudana ning kasetyane karo Janaka. Mila Ngestina menika jati ketlusuban luyung, kathah senopati ingkang sami pejah klebet Kurawa…”

    Dur : Iblis laknat. (Mlajar)

    Dari petikan percakapan diatas menjelaskan bahwa Prabu Duryudana adalah raja yang mudah dihasut.

    Mangretos bilih ingkeng paman Patih Harya Sengkuni pejah, sigra lumajar ngoncati saking payudan nggih Prabu Duryudana sami nitih gajah Kyai Murdaningkung. Manjing madyaning wana, nalika semana mandhap saking titihan nira gajah Murdaningkung. Nalika semanten Prabu Duryudana sigra ambyur slulup wonten telenging benawi, benawi ingkang winastan Benawi Jamuna.”

    Dalam petikan diatas menjelaskan bahwa Prabu Duryudana adalah raja yang penakut dan juga licik karena kabur dari peperangan untuk mencari bantuan.

    “…..rikala semana Prabu Baladewa sigra mbengok sora kalawan Prabu Duryudana. "Yayi Duryudana eling Yayi!!” den osikake kalamunta Raden Harya Werkudara darbe pangapesan ana pilingan kiwa, riwenya Prabu Baladewa eling-eling. Sakala kaya dielingake Prabu Duryudana sigra namakaken gada nira Singa Barong, marang pilinganne Raden Werkudara, sami sakal rebah Raden Werkudara.”

    Dalam kutipan diatas menjelaskan bahwa Prabu Duryudana adalah raja yang pintar yang dapat mengerti akan kode yang diberikan untuknya.

    Jadi dapat disimpulkan bahwa karakter Prabu Duryudana versi Ki Timbul dan Ki Manteb sama antara lain  adalah raja yang bisa menutupi akan kesedihan dan rasa kekecewaannya karena semua adiknya dan semua senopatinya kalah dimedan perang, selain itu Prabu Duryudana adalah raja memiliki watak angkara murka, jahat, licik, tidak sabaran, mudah dihasut, dan penakut. Yang membedakan adalah lawan main disetiap adegannya. Ki Timbul menjelaskan bahwa Prabu Duryudana adalah raja yang dapat menutupi rasa sedih dan kecewanya atas kematian adik-adiknya dan semua senopati yang membelanya. Ki Manteb menjelaskan bahwa Prabu Duryudana adalah raja yang pintar karena tanggap akan kode yang diberikan untuknya.

  3. Alur
    Alur dalam lakon Duryudana Gugur versi Ki Timbul Hadi Prayitno dan Ki Manteb Soedharsono sama-sama menggunakan alur campuran. Analisis alur dalam lakon Duryudana Gugur terlihat dari dalang yang menceritakan tentang perang-perang yang sudah terjadi, seperti matinya para senopati dimedan peperangan. Mulai dari Resi Bisma, Sang Begawan Durna, Prabu Karna, Dursasana dan sang Jayajatra, Burisrawa. Yang membedakan disini adalah apabila versi Ki Timbul Hadi Prayitno perang Baratayuda sudah terlaksana selama 18 hari dan Prabu Salya masih hidup. Seangkan versi Ki Manteb Soedharsono perang Baratayuda sudah terlaksana selama 16 hari dan Prabu Salya sudah mati.

  4. Latar
    Latar dalam lakon karya Ki Timbul dijelaskan secara jelas pada setiap adhegan yaitu berada di Pakuwon Bulupitu, Plasajenar, Pakuwon Randukumbala, Kerajaan Mandaraka, Pakuwon Hupalawiya, Pesanggrahan Ngrunting dan Kedhung Tuntum. Latar dalam lakon karya Ki Manteb hanya dijelaskan apabila Perang Baratayuda sudah terlaksana selama 16 hari di Tegal Kuru Setra, dan tempat persembunyian Prabu Duryudana di Benawi Jamuna. Berikut beberapa kutipan yang akan membuktikan latar-latar tersebut.

    Ki Timbul Hadiprayitno

    Kutipan

    Latar

    "Pakuwon Bulupitu ya Pakuwon Sewuntana wonten madyaning wana, tanpa beda kadhaton nggeng-nggeng, awit nalika semanten ingkang anggelar Pakuwon mungguhing wana Bulupitu inggih menika Sang Prabu Duryudana..”

    Pakuwon Bulupitu

    “Sinigeg lumampahing prajurit saking Plasajenar, ingkang tumuju paperangan Tegal Kuru.”

    Plasajenar

    “..Kang kinarya sinambeting carita nenggih, Nagari Mandaraka ya Negara Madras…”

    Mandaraka

    Salya: “Iya tak trima Ngger Nakula Sadewa, apa wigatine dudu wancine kowe teka ning ngarepan Pesanggrahan Ngrunting ana ngarepanku...”

    Pesanggrahan Ngrunting.

    “Seda wonten ing madyaning paperangan Tegal Kuru Setra, gladrahan wonten ing telenging rata Prabu Salya…”

    Tegal Kuru Setra

    “Pegedhonganing carita Prabu Duryudana pinanggih Sang Hyang Rekathathama, dipunparingu pusaka gada Inten. Prabu Duryudana mijil saking Kedhung Tuntum…”

    Kedhung Tuntum


    Ki Manteb Soedarsono

    Kutipan

    Latar

    “...Ara-ara amba papane trah Barata miwah trah kuru. Samya paperangan gegempuran rebut unggul. Mapan wonten ing Tegal Kuru Setra datan metang kathahing kurban ingkang kasangguting rananggana, para senopati anung-anung. Baratayudha Jaya Binangun ing mangke wus antuk 16 dinten laminipun...”

    Tegal Kuru Setra

    “Mangretos bilih ingkeng paman sirna, Prabu Duryudana sigra lumajar ngoncati saking payudan nggih Prabu Duryudana sami nitih gajah Kyai Murdaningkung. Manjing madyaning wana, nalika semana mandhap saking titihan nira gajah Murdaningkung. Nalika semanten Prabu Duryudana sigra ambyur slulup wonten telenging benawibenawi ingkang winastan Benawi Jamuna.”

    Benawi Jamuna


    Sumber Data:

    Ki Timbul Hadiprayitno

    https://www.youtube.com/watch?v=pDLfEA-bdZU&t=7528s

    Ki Manteb Soedarsono

    https://www.youtube.com/watch?v=NdfHy3m5thM




img

Jogja Belajar Budaya

JB Budaya adalah salah satu layanan unggulan Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan DIY yang terintegrasi dengan jogjabelajar.org. JB Budaya merupakan media pembelajaran berbasis website yang mempelajari tentang budaya-budaya di Yogyakarta.




Artikel Terkait

Artikel yang juga anda sukai