Nilai-nilai luhur dalam khazanah bahasa, sastra, dan budaya Jawa yang bersifat tradisional, secara pragmatik, umumnya mengandung fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan nilai budaya masyarakatnya. Upaya untuk tetap membuktikan bahwa nilai-nilai itu tetap ada di tengah-tengah masyarakat ditunjukkan melalui berbagai media yang dapat dinikmati, dipahami, dan dianut oleh masyarakat di sekitarnya. Salah satu media “komunikasi” yang menjembataninya, antara lain adalah pertunjukan Dhagelan Mataram (DM). Bentuk DM ini bermula dari tradisi kraton Yogyakarta, yakni Gusti Pangeran Hangabehi (putra Sri Sultan Hamengkubuwana VIII tahun 1880-1939) yang mempunyai abdi dalem ocèh-ocèhan dan bertugas menghibur keluarga kraton.
Salah satu sosok DM yang legendaris adalah Basiyo (populer pada tahun 1950-1980-an). Ia terkenal dengan “ke-ngèyèlan-nya” dalam setiap cerita atau kisah yang dibawakannya. Di samping itu, kemampuan untuk melempar suatu joke dalam bahasa Jawa juga merupakan ciri khasnya. Semasa hidup, kemampuannya dalam menghibur semakin baik, penonton kemudian mengundangnya tidak hanya sebagai pemain kethoprak, namun juga sebagai pelawak. Selain itu, Basiyo dikenal juga sebagai seorang tokoh yang mempopulerkan acara Pangkur Jengglèng siaran RRI Stasiun Yogyakarta sejak 1954-1979, setiap hari Senin pukul 21.30-23.00, dan disiarkan lewat program Uyon-uyon Manasuka langsung dari Dalem Ngabeyan, Yogyakarta (Prabowo, 2007: 38).
Oleh karena pertunjukannya semakin menarik, maka beberapa perusahaan rekaman mengabadikan DM dalam bentuk kaset yang dijual secara umum antara lain Kusuma Record (Klaten), Fajar Borobudur Record (Semarang), dan Lokananta (Solo). Hingga saat ini, persebaran DM tidak hanya terbatas dalam bentuk kaset. Situs-situs internet tertentu telah menyediakan layanan download gratis rekaman DM dalam bentuk file audio MP3. Beberapa radio swasta niaga di Yogyakarta juga pernah memutar kaset-kaset rekaman DM sebagai pengisi tetap program acaranya.
Karya sastra sebagai produk sosial dapat dinikmati pembaca melalui genre-genre-nya. DM adalah salah satu genre sastra yang berbentuk drama komedi yang mengandung cerita, penokohan, alur, dialog, dan dipentaskan di panggung (walaupun seiring perkembangan teknologi, dhagelan disiarkan melalui radio). Dhagelan/lelucon atau lawakan seringkali disampaikan secara spontan. Namun demikian, spontanitas tersebut tetap berada dalam kerangka acuan struktur lakon yang harus dipatuhi oleh tokoh-tokohnya. Lakon adalah istilah lain dari drama dan berasal dari bahasa Jawa yang berarti lampahan (cerita). Bagi seorang sastrawan, lakon (=drama), merupakan jenis sastra disamping jenis puisi dan prosa.
Spesifikasi DM yang terstruktur dalam sebuah lakon mempengaruhi perkembangan seni lawak dan teater di Indonesia. Namun demikian, teater-teater tradisional umumnya tidak memiliki naskah lakon. Adapun sebagian besar lakon-lakon dalam DM berujud skenario utama atau lakon balungan yang berisikan inti pokok yang harus dibawakan oleh tokoh-tokohnya. Lakon balungan ini jarang sekali ditulis dan jika ada hanya beberapa saja. Para pemain hanya diberi garis besar jalannya cerita dan tugas yang harus dikerjakan di pentas panggung. Merekalah yang mengembangkannya secara improvisasi atau spontan. Jadi, dhagelan tersebut tidak dibuat secara sembarangan. Seorang pelawak harus mampu memberi dan menerima umpan banyolan, mengikuti alur, serta memperhatikan lakon.
Pada praktiknya, durasi pertunjukan DM membutuhkan waktu antara 45 sampai 90 menit yang dibagi menjadi tiga babak penting, yaitu ngudarasa, wacana, dan liding dongèng. Ketiga pembabakan ini merupakan suatu keajegan yang terdapat dalam lakon-lakon DM. Berikut penjelasan singkat mengenai pembabakan dalam dhagelan Basiyo tersebut, yaitu :
- Ngudarasa
Pada bagian ini, lakon dimulai dengan munculnya tokoh yang secara monolog mengkritisi masalah kehidupan dirinya, keluarga, dan orang-orang yang ada disekelilingnya. Dengan gaya lucunya, tokoh dalam adegan ini seringkali sambat (mengeluh) atas nasib yang menimpanya. Setelah beberapa saat mengungkapkan perasaan melalui monolognya, muncul kemudian tokoh lain yang menanggapi keluh kesah tokoh sebelumnya. Melalui tanggapan ini terkadang menjadi perselisihan yang dibalut dengan permainan kata yang menggelitik, semacam teka-teki atau bahkan saling mencela. - Wacana
Pada bagian ini para tokoh berelasi dengan tokoh lainnya mulai menunjukkan dialog yang menuju pada pengembangan ide cerita. Dengan variasi dan improvisasi dialog sebagai cirinya, adegan ini terasa menyimpang dari topik yang dibahasnya. Namun demikian, pada saatnya kemudian kembali pada permasalahan yang harus mereka selesaikan. - Liding dongèng
Bagian ini adalah tahap ending atau kesimpulan cerita. Pada bagian ini, para tokoh masih melawak walaupun lakon sudah berakhir. Kesimpulan lakon-lakon yang dibawakan pada akhirnya merujuk pada ungkapan Jawa yang mengandung ajaran moral tertentu, seperti “aja dumeh” (jangan mentang-mentang), “becik ketitik ala ketara” (baik buruk perilaku manusia akhirnya akan terlihat), dan lain sebagainya.
Selain pola pembabakan, penyajian DM juga menggunakan iringan musik yang berfungsi sebagai pengiring (ilustrasi) dan selingan antar adegan. Sebagai musik selingan, maka dhagelan ini menggunakan iringan musik yang berdurasi pendek agar tidak mendominasi penyajian cerita. Musik selingan ini berupa gendhing-gendhing Jawa yang berbentuk lancaran dan srepegan. Bentuk gendhing ini lebih sederhana dibandingkan bentuk gendhing-gendhing yang lain sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan adegan.
Isi cerita dalam DM merupakan kisah kehidupan sehari-hari yang diwujudkan dalam sebuah lakon komedi dan mengandung makna. Muatan ini muncul atas dasar konsep individu sebagai bagian dari masyarakat yang tidak dapat terhindar dari berbagai kondisi sosial dalam karya maupun pemikirannya. Hal demikianlah yang mempengaruhi karya dan pemikiran manusia tersebut tidak terlepas dari nuansa tradisi dan budaya daerah tertentu dimana individu tersebut pernah mengalami suatu komunikasi bermakna dalam kehidupannya. Kemampuan imajinasi dan kreativitas individu tersebut kemudian dituangkan melalui segenap daya cipta yang dimiliki dengan gaya kekhasannya, sehingga pikiran-pikiran yang dianggap memiliki arti penting pada zaman kehidupan sosial-budayanya mampu dinikmati orang lain. Dengan demikian, individu tersebut telah menjadi subyek dalam suatu kelompok masyarakat atas gagasan, ide, pikiran-pikiran yang ada dalam karyanya (mewakili suatu kelompok masyarakat tertentu).
Lahirnya DM tidak terlepas dari latar sosial budaya yang melingkupinya. Tema-tema yang diangkat dalam dhagelan Basiyo kebanyakan mengisahkan seputar penderitaan rakyat, kemiskinan, penipuan, penindasan, tindakan yang menyimpang dari norma-norma masyarakat, gandrung (jatuh cinta), sesuatu yang irrasional (illogical dan serba instant), serta kritik sosial. Hal tersebut tentu berkaitan dengan jiwa jaman yang membingkainya, mulai dari pra-kemerdekaan hingga pascakemerdekaan.
Keberadaan keraton Yogyakarta yang menjadi pusat kehidupan tradisional dengan adat dan tradisi Jawa yang lahir dan dikembangkannya, berpengaruh terhadap pola hidup dan cara pandang masyarakatnya (Morisson, 2002 : 180). Oleh sebab itu, dhagelan Basiyo memiliki konvensi tersendiri, yaitu (1) selalu mengutamakan unggah-ungguh (tata krama bahasa Jawa), (2) tidak memaksakan kelucuan dengan umpatan dan kata-kata porno, (3) dilandasi etika dan norma kesopanan, dan (4) berdasarkan plot cerita (Prabowo, 2007: 37).
Hampir semua isi lakon-lakon DM mengandung unsur humor sehingga tokoh-tokoh dalam DM mampu membuat pendengarnya tertawa, disebabkan oleh perilaku tokoh-tokoh yang kadangkala bersikap konyol, bodoh, lugu, dan terkadang cerdik ketika menghadapi persoalan yang menimpanya. Penyampaian pesan dalam lakon-lakon DM di pengaruhi oleh konteks lelucon, antara lain yang mengandung aspek kacauan objek pembicaraan/plesetan, permainan ketakterdugaan, ejekan dan pembelaan, informasi dan pertanyaan, tanggapan dan penyimpangan, ajakan dan penolakan, keluhan dan tindakan, serta saran yang meledek.
Lakon-lakon DM merupakan satu hasil kreasi eksperiential (pengalaman) Basiyo semasa hidupnya. Dia berinteraksi dengan masyarakat, merekam kebiasaan mereka, dan menuangkannya dalam karya sastra. Kreasi eksperiential (pengalaman) Basiyo tersebut ditunjukkan dengan gaya realis yang difokuskan pada penokohan dan latar. Berbagai fenomena yang direkam oleh Basiyo tersebut merupakan sebuah pengetahuan mengenai kehidupan dunia Mataram/Yogyakarta (social lebenswelth of Mataram). Tokoh-tokoh utama dalam lakon-lakon DM adalah orang-orang bawahan (wong cilik) yang hidup dengan apa adanya. Tokoh-tokoh tersebut dipakai dalam lakon-lakon DM sebagai model untuk menjelaskan ide pemikiran (thought) mengenai hakekat manusia (human being).
Perilaku baik dan buruk adalah sebuah kenyataan dalam diri manusia. DM membuktikannya dengan perwatakan tokoh-tokoh utamanya. Kenyataan tersebut terkadang asing bagi sebagian orang, karena mereka berusaha membedakan diri. Namun, sebenarnya watak tersebut wajar ada dalam diri manusia. Keduanya merupakan sepasang watak yang dimiliki manusia sebagai pembentuk jati diri. Kadangkala, manusia tidak mampu menempatkan dirinya sendiri secara tepat. Watak manusia merupakan dasar perilaku yang menyertainya dan menentukan hubungan intersubjektif dalam dunia sosial budayanya.
DM memberikan gambaran mengenai kehidupan manusia dalam hubungannya dengan individu lain. Rasa iri, benci, susah, dan senang selalu melingkupi kehidupan manusia dalam integrasi dan interaksinya dengan makhluk hidup yang lain. Kenyataan hidup inilah yang diangkat menjadi sebuah pengetahuan dan dilambangkan melalui interaksi tokoh dalam DM. Pengetahuan yang dimaksud adalah mengenai nilai keseimbangan dalam hidup manusia dengan mempertimbangkan segala sesuatu pada porsinya. Keseimbangan ini menjadi hakikat hidup manusia yang sebenarnya sesuai dengan fungsi kewajiban dan hak manusia sebagai makhluk sosial.
Sebagai bentuk dari pertunjukan rakyat, tradisi dhagelan dapat berfungsi sebagai tontonan (hiburan), tatanan (aturan), dan tuntunan (nasehat). Hampir semua cerita dalam DM menunjukkan bahwa perilaku baik dan buruk, di dalam interaksi antar individu dalam masyarakat, adalah milik semua orang. Siapa saja, tanpa pandang bulu, dapat mengalaminya. Melalui lelucon yang menghibur, DM berusaha menggambarkan perilaku manusia yang dapat dimaknai sebagai sebuah pesan. Pesan moral yang disampaikan tersebut tidak terjadi dalam situasi serius dan penuh indoktrinasi, tetapi justru dalam situasi ‘cair’ yang memungkinkan pesan moral tersebut mudah dicerna untuk selanjutnya diinternalisasi dalam kehidupan penikmatnya.
Pandangan tersebut berhubungan erat dengan sikap hidup masyarakat Jawa yang sarat dengan bahasa tidak langsung (indirect) ketika menyampaikan nasihat, pujian, penolakan, kritik, maupun celaan kepada pihak lain agar tidak menimbulkan rasa sakit hati. Hal ini merupakan cermin dari nilai budaya antikonflik untuk memayu hayuning bawana, yaitu mengusahakan keselamatan dunia atau keseimbangan antara jagat gedhé (makro kosmos) dengan jagat cilik (mikrokosmos). Ini berarti bahwa budaya tersebut bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil, ayom ayem, tata titi, tentrem karta raharja. Dengan kata lain, budaya tersebut akan bermuara pada kehidupan masyarakat yang penuh dengan kedamaian, baik ke dalam maupun ke luar.
Referensi
Dhagelan Basiyo, https://id.wikipedia.org/wiki/Basiyo
Morisson. 2002. Petunjuk Wisata Lengkap Jawa–Bali. Jakarta : PT Ghalia Indonesia.
Prabowo, Dhanu Priyo. 2007. “Pemikiran Kejawen dalam Dagelan Basiyo Pak Dengkek”. Kejawen edisi 3 Tahun II/September, Jurnal Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FBS-UNY.
Wolff, Janet. 1981. The Social Production of Art. New York.
Kontributor:
Sumaryono, S.Pd.,M.A. Guru Bhs. Jawa SMAN 1 Gamping Sleman Yogyakarta