Upacara Palakrama Adat Yogyakarta ( Seri 1 ) “ Lamaran ”




Gambar dari frankncojewellery[dot]com

Upacara Palakrama atau pernikahan adalah salah satu upacara penting dalam fase kehidupan manusia Jawa. Upacara ini diselenggarakan sebagai bentuk permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang maha Kuasa, serta berbagai doa dan harapan yang tertuju kepada mempelai serta keluarga. Upacara palakrama dalam khasanah budaya Jawa, merupakan rangkaian upacara yang panjang, dan memakan waktu hingga beberapa hari. Namun sesuai dengan perkembangan jaman, mengingat berbagai kebutuhan, oleh karena itu waktu pelaksanaan upacara palakrama inipun juga disesuaikan tanpa mengurangi makna yang terkandung di dalamnya.

Upacara Palakrama yang berkembang di Yogyakarta, pada umumnya mengacu upacara palakrama yang diselenggarakan oleh Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, meski tidak ditiru sepenuhnya, karena ada beberapa hal yang hanya dilaksanakan oleh pihak kraton. Dengan demikian, lampah upacara palakrama yang berkembang di tengah masyarakat, juga sudah mengalami perkembangan maupun modifikasi.

Rangkaian upacara palakrama ini tentulah mengalami perkembangan juga dari masa ke masa, sesuai dengan perkembangan jaman dan perilaku manusia. Pada jaman dahulu ketika kedua calon pengantin belum saling mengenal, rangkaian upacara ini diawali dengan laku dom sumurubing banyu, atau utusan rahasia dari keluarga calon pengantin pria untuk menyelediki atau mencari informasi terkait calon pengantin wanita yang dituju dan keluarganya. Setelah mendapatkan informasi yang dikehendaki, barulah kemudian keluarga calon pengantin pria akan bertandang atau bertamu ke keluarga calon pengantin putri, untuk memperkenalkan diri dan membangun silaturahmi antar keluarga. Barulah setelah informasi yang didapat semakin komplit, maka kunjungan selanjutnya adalah untuk menyatakan lamaran. Namun untuk masa sekarang, lampah ini terlompati, karena secara otomatis sudah terlaksana oleh kedua calon pengantin yang sudah saling mengenal dan diperkenalkan kepada keluarga masing-masing, meskipun belum ana lamaran maupun pertunangan.

Pada masa sekarang, setelah kedua calon mempelai saling mengutarakan isi hati untuk membangun keluarga baru, dan telah ada rembug di keluarga masing masing, maka diadakan upacara lamaran. Upacara ini bersifat kekeluargaan, antara keluarga calon mempelai pria dan keluarga calon mempelai wanita, dengan cara bertandang atau silaturahmi. Pada umumnya keluarga calon mempelai pria akan bersilaturahmi kepada keluarga calon mempelai wanita. Pada kesempatan ini, orang tua mempelai pria dapat turut serta, ataupun menunjuk salah satu sesepuh untuk mewakili sekaligus sebagai juru bicara. Karena berwujud silaturahmi, maka cukuplah membawa beberapa barang sebagai oleh oleh saja.

Bagi masyarakat Jawa dalam melamar, pada umumnya utusan mengutarakan lamaran dengan kalimat tersendiri, yaitu dengan ndhodhog kori, nginang jambe suruhe, ngebun ebun enjang, janjejawah sonten. Kalimat tersebut mengandung pengertian sebagai berikut. Ndhodhog kori berarti mengetuk pintu, dalam hal ini berarti bertamu. Nginang jambe suruhe, berarti memakan pinang dan sirih yang dihaturkan tuan rumah sebagai bentuk penghormatan kepada tamu yang hadir. Bagi masyarakat Jawa pada masa lalu, nginang atau memakan sirih dilengkapi dengan buah pinang atau jambe merupakan sebuah kebiasaan, dan suatu kehormatan jika tamu yang bertandang berkenan untuk memakan sirih bersama dengan tuan rumah. Namun seiring dengan perkembangan jaman, kebiasaan ini sekarang telah luntur dan tinggal istilah saja, meskipun kebiasaan nginang ini juga bermanfaat untuk kesehatan. Ngebun-ebun enjang atau bun enjang, berarti embun di pagi hari, yang dalam istilah bahasa Jawa disebut awun-awun (Baoesastra Poerwadarminta, 1939). Sedangkan hanjejawah sonten, atau jawah sonten, berarti hujan di sore hari, dalam istilah bahasa Jawa disebut rarabi (Baoesastra Poerwadarminta, 1939). Sehingga rangkaian kalimat ndhodhog kori, nginang jambe suruhe, ngebun ebun enjang, janjejawah sonten dapat diartikan sebagai ingkang kautus mertamu kanthi kebak pakurmatan, kangge nyuwunaken rabi, atau yang diutus bertamu dengan penuh penghormatan untuk memintakan jodoh. Memintakan jodoh dapat juga diartikan sebagai melamar atau melamarkan.  

Dalam melamar atau lamaran ini kecuali dapat diungkapkan langsung secara lisan, dapat juga dilaksanakan dengan tertulis melalui surat, sehingga utusan cukup menghaturkan surat dari keluarga yang melamar kepada keluarga yang dilamar. Adapun jawaban lamaran juga akan dilaksanakan dengan cara yang sama. Namun lamaran secara bersurat ini, kurang populer. Yang dilaksanakan dan berkembang di tengah masyarakat adalah lamaran secara lisan yang diutarakan langsung oleh orang tua atau utusan yang mewakili keluarga calon mempelai pria, dan diterima langsung oleh orang tua atau utusan yang mewakili keluarga calon mempelai wanita.

Lamaran merupakan rembug sepuh, setelah para calon mempelai yang sudah saling mengenal terlebih dahulu, mengutarakan maksudnya kepada orang tua masing masing, bahwa ingin menikah. Dengan demikian maka orang tua calon mempelai pria akan segera mempersiapkan diri untuk silaturahmi dan menghaturkan lamaran kepada orang tua calon mempelai wanita, baik dengan juru bicara yang ditunjuk maupun dilaksanakan sendiri oleh orang tua calon mempelai pria. Dengan demikian sesungguhnya lamaran adalah upacara yang bersifat kekeluargaan, antara dua keluarga, yaitu keluarga calon mempelai pria dan keluarga calon mempelai wanita, yang juga sebagai tuan rumah. Namun pada perkembangannya, upacara lamaran ini ditata sedemikian rupa, sehingga terkesan lebih mewah, karena dilengkapi dengan tatanan dekorasi, peran serta master of ceremony atau mc, serta penataan rangkaian acara oleh wedding organizer. Tidak hanya tampilannya saja, tatacaranya pun juga tersentuh modifikasi. Sehingga ketika dahulu lamaran ini mutlak sebagai rembug sepuh, artinya oleh kalangan tetua, namun sekarang kedua calon mempelai pun berkeinginan tumut berperan serta dalam upacara lamaran ini. Sebagai misal, calon mempelai pria mengungkapkan isi hatinya untuk melamar langsung calon mempelai wanita. Jika rangkaian acara tidak ditata sedemikian rupa, maka hal ini menjadi kurang etis. Oleh karena itu rangkaian acara perlu ditata agar rembug sepuh berjalan sesuai dengan tata upacaranya, dan keinginan calon pasangan pengantin juga dapat terlaksana.

Upacara lamaran dilaksanakan atau dimulai ketika tamu dari pihak keluarga calon mempelai pria hadir di kediaman keluarga calon mempelai wanita. Setelah disambut secukupnya, maka tamu dipersilahkan duduk di tempat duduk yang telah disediakan. Jika tatanan tempat duduk ada di sebelah kanan dan kiri pintu masuk, maka tamu dipersilahkan untuk duduk di tempat duduk yang tertata di sebelah kiri pintu masuk. Tatanan tempat duduk yang berada di sisi sebelah kanan pintu masuk, adalah tempat duduk untuk tuan rumah dan keluarganya. Sedangkan jika tempat duduk ditata membelakangi dan menghadap pintu masuk, maka tamu dipersilahkan untuk duduk di tempat duduk yang membelakangi pintu masuk. Sedangkan tempat duduk yang menghadap pintu masuk adalah untuk tuan rumah dan keluarganya.

Setelah tamu dan tuan rumah duduk, maka tuan rumah akan menghaturkan sambutan selamat datang kepada para tamu, atau pambagyaharja. Pambagyaharja ini dapat diungkapkan sendiri oleh tuan rumah atau juru bicara yang ditunjuk. Setelah pambagyaharja, barulah tamu dipersilahkan untuk mengutarakan maksud kehadirannya. Dalam mengutarakan maksud kehadiran ini dapat langsung oleh orang tua mempelai pria atau oleh juru bicara yang ditunjuk. Namun pada umumnya, baik dari pihak tamu maupun tuan rumah akan menunjuk juru bicara tersendiri untuk mewakili. Setelah memperkenalkan diri dan bersyukur atas keselamatan dalam perjalanan, juru bicara keluarga mempelai pria akan menghaturkan lamaran dengan ucapan ndhodhog kori, nginang jambe suruhe, ngebun ebun enjang, janjejawah sonten.

Pada umumnya, ungkapan lamaran ini tidak serta merta langsung diterima oleh juru bicara atau wakil keluarga mempelai wanita, namun akan dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada calon mempelai wanita yang akan nglakoni atau melaksanakan. Meminta persetujuan ini yang disebut dengan nanting atau tantingan. Tantingan dapat dilaksanakan oleh wakil keluarga kepada calon mempelai wanita, atau dilaksanakan sendiri oleh orang tua calon mempelai wanita kepada putrinya, dan mestinya akan disaksikan atau didengar oleh para tamu. Tantingan yaitu dengan menanyakan kepada calon mempelai wanita, bahwa ada lamaran dari keluarga calon mempelai pria yang tertuju kepada calon mempelai wanita untuk dilanjutkan hingga jenjang pernikahan, apakah bersedia untuk melaksanakan, yang berarti menerima lamaran tersebut, atau sebaliknya.

Pada titik inilah dapat disanggit atau direka maksud, dalam menjawab tantingan, calon mempelai wanita dapat mengajukan syarat atau pemintaan agar calon mempelai pria mengutarakan isi hati atau maksudnya sendiri disaksikan oleh seluruh tamu. Hal ini juga mengandung maksud untuk nganteb, atau mengetahui keseriusan atau kemantapan hati calon mempelai pria melamar calon mempelai wanita sebagai calon istri. Dengan sanggit demikian maka, keinginan sepasang muda mudi calon mempelai untuk melaksanakan lamaran langsung dapat terpenuhi, tanpa melangkahi para tetua dalam rembug sepuh.   

Maka dengan disaksikan oleh seluruh tamu dan keluarga, calon mempelai pria akan mengutarakan maksud atau isi hatinya melamar calon mempelai wanita untuk menjadi pendamping hidupnya. Dengan adanya lamaran langsung ini, maka calon mempelai wanita akan menerima lamaran tersebut yang juga dipersaksikan oleh seluruh tamu dan keluarga. Lamaran telah diterima oleh yang bersangkutan, yakni calon mempelai wanita, sehingga juru bicara dari keluarga wanita cukuplah sarat untuk menegaskan bahwa lamaran dari keluarga calon mempelai pria diterima dengan lapang dada. Dan biasanya akan dilanjutkan dengan musyawarah keluarga, menentukan saat yang terbaik untuk melangsungkan pernikahan.

Setelah lamaran diterima, pada umumnya dilanjutkan dengan pemasangan cincin pertunangan, sebagai tanda bahwa kedua muda mudi tersebut telah ada ikatan rembug antar keluarga untuk selanjutnya menuju jenjang pernikahan. Sebagai tanda pertunangan, maka cincin dipasang di jari manis tangan kiri masing masing calon. Dan karena kedua calon belum melaksanakan akad nikah sehingga belum sah sebagai suami istri, maka bagi kalangan keluarga muslim, pemasangan cincin pertunangan ini tidak dilaksanakan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita dan sebaliknya secara langsung. Cincin bagi calon mempelai wanita akan dipasangkan oleh calon ibu mertua, ibunda dari calon mempelai pria atau yang mewakili, sedangkan cincin calon mempelai pria akan dipasangkan oleh calon bapak mertua, bapak dari calon mempelai wanita atau yang mewakili. Artinya kedua calon mempelai tidak bersinggunggan secara fisik karena memang belum sah sebagai suami istri. Dengan demikian dalam upacara lamaran ini belum perlu setting pelaminan, karena memang kedua calon belum perlu untuk didudukkan berdampingan.

Setelah pemasangan cincin pertunangan pada umumnya dilanjutkan dengan acara ramah tamah, yang diawali dengan perkenalan keluarga masing-masing yang pada saat tersebut turut hadir, dilanjutkan dengan makan bersama. Upacara lamaran ini pada umumnya dengan suasana kekeluargaan yang cair atau semi formal. Akhir dari rangkaian upacara ini yaitu dengan berpamitnya tamu dari keluarga calon mempelai pria, yang pada umumnya juga disertai pemberian oleh-oleh dari keluarga calon mempelai wanita.

Penulis : Faizal Noor Singgih, S.T.P.





img

Jogja Belajar Budaya

JB Budaya adalah salah satu layanan unggulan Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan DIY yang terintegrasi dengan jogjabelajar.org. JB Budaya merupakan media pembelajaran berbasis website yang mempelajari tentang budaya-budaya di Yogyakarta.




Artikel Terkait

Artikel yang juga anda sukai

Unggah-ungguh

A. Pengertian

Unggah-ungguh dalam kamus bahasa Jawa-Indonesia yang disusun oleh Tim Balai bahasa Provinsi DIY tahun 2021 diartikan adab berbahasa yang dibedakan....

Baca Selengkapnya