
Dusun Degung merupakan salah satu dari 12 dusun yang terdapat di kalurahan (desa) Kaliagung, kapanèwon (kecamatan) Sentolo, kabupaten Kulonprogo. Berbagai kegiatan kebudayaan setiap dusun di kalurahan Kaliagung masih eksis dilaksanakan hingga saat ini. Hal tersebut sesuai dengan status kalurahan Kaliagung sebagai rintisan desa budaya. Rintisan desa budaya merupakan program pemerintah dengan tujuan untuk menjaga, memelihara dan melestarikan kesenian serta kebudayaan daerah. Salah kegiatan kebudayaan di kalurahan Kaliagung yaitu upacara adat di dusun Degung yang bernama Baritan.
Diceritakan bahwa asal mula nama Degung berasal dari nama seorang abdi Sultan Agung datang di sebuah dusun untuk melarikan diri sewaktu konflik antara Mataram dan Blambangan di daerah Jawa Timur. Karena lidah orang Jawa susah untuk melafalkan kata Abdi Sultan Agung secara utuh maka nama beliau berubah menjadi Adi Agung atau Ki Adi Agung, dan dari situ kemudian teman dari Abdi Sultan Agung menjadikan nama Adi Agung sebagai nama sebuah dusun yaitu “Degung”. Abdi Sultan Agung selama hidupnya merupakan sosok yang dihormati dan memberikan banyak pengaruh bagi masyarakat dusun Degung kala itu hingga saat ini. Pengaruh yang diberikan oleh Ki Adi Agung ini terdapat dalam upacara adat Baritan yang dilaksanakan di halaman makam Ki Adi Agung atau orang Jawa menyebutnya pêtilasan.
Makam Ki Adi Agung ini berada di dusun Degung tepatnya RT 5/ RW 6 dan berdiri di tanah milik Karaton Ngayogyakarta dengan kondisi tanah lebih tinggi daripada rumah-rumah warga. Kondisi bangunan makam atau yang dalam bahasa jawa disebut dengan cungkup ini sudah mengalami perbaikan tetapi tidak menyeluruh. Berdasar kepercayaan warga ada beberapa komponen yang tidak boleh dirubah dari tempat dan bentuk asalnya, yaitu gundukan rumah rayap yang menutupi gundukan tanah dari makam tersebut, juga kayu yang digunakan sebagai kerangka bangungn. Konon katanya jika gundukan rumah rayap tersebut dihilangkan di dusun tersebut akan terjadi sebuah malapetaka yang menimpa seluruh warga di dusun Degung. Sedangkan kayu dari bangunan tersebut hingga kini masih berdiri dengan kokoh. Tetapi karena saking tuanya dan dikhawatirkan akan rusak, maka warga memperbaikinya dengan menambah kayu yang baru kemudian ditumpuk diluar kerangka lama struktur bangunan cungkup.
Selain rumah rayap dengan mitosnya, suasana mistis dari makam ditambah dengan adanya beberapa pohon besar dan tinggi. Yaitu pohon ingas yang dapat mencapai tinggi hingga 45-50m. Tidak ada warga yang berani menebang pohon ingas karena pohon ini memiliki getah yang jika mengenai kulit manusia dapat menyebabkan luka bakar, hal ini sesuai dengan julukannya yaitu pohon bergetah panas. Selain itu disamping makam juga terdapat pohon dengan usia yang sudah sangat tua bernama pohon bulu yang juga disebut sebagai beringin pencekik karena batangnya dapat melilit pohon lainnya. Meskipun makam ini dikelilingi pepohonan tetapi halaman makam selalu bersih dari dedaunan yang gugur karena sering dibersihkan oleh peziarah yang datang. Didepan makam juga disediakan tempat berwudu atau hanya sekedar untuk membasuh kaki yang disebut padasan. Di makam inilah warga dusun Degung melangsungkan upacara adat Baritan.
Awal mula adanya upacara Baritan ini tidak diketahui pasti kapan tanggal dan waktu pertama kali diadakan. Upacara ini dapat kita temui setiap malam 1 Surå dalam tahun Jawa dan 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Upacara adat Baritan adalah kenduri untuk memanjatkan doa-doa permohonan dan untuk memperingati tahun baru Islam atau yang lebih populer masyarakat Jawa menyebutnya sebagai peringatan menyambut tanggal 1 Surå. Baritan digelar di makam Ki Adi Agung di bagian halaman depan makam dekat dengan jalan masuk, karena makam ini memiliki dua halaman yaitu di bagian depan dekat jalan masuk kemudian kita perlu berjalan lebih kedalam lagi sekitar 50 meter untuk sampai di halaman yang berada tepat didepan bangunan makam.
Peserta Baritan adalah warga dusun Degung dan juga warga dari dusun lain yang mempunyai permohonan untuk ikut didoakan bersama dalam acara tersebut. Peserta datang berbondong-bondong ke tempat dilaksanakannya Baritan dengan mengenakan busana jawa lengkap dari atas sampai bawah. Untuk busana pria mengenakan jarit kemudian surjan atau lurik dan penutup kepala bernama blangkon. Hal tersebut juga berlaku untuk peserta wanita yaitu mengenakan jarit yang dipadu dengan atasan lurik atau kebaya, tetapi sebagian peserta yang datang dari luar dusun atau dari luar kota tidak diwajibkan untuk mengenakan busana Jawa. Cara berbusana dalam upacara ini menandakan bahwa warga masyarakat Degung masih menjaga warisan leluhurnya dan paham bagaimana menjadi bagian dari kota Yogyakarta dengan tetap mengenakan busana adat daerah Yogyakarta.
Busana selain sebagai identitas suatu daerah seperti yang kita tahu, juga merupakan cerminan kepribadian bagi yang mengenakan dalam hal ini adalah warga dusun Degung yang masih menjaga kesantunan dalam bermasyarakat. Kesantunan yang dapat kita pelajari dari upacara ini yaitu adanya satu jenis busana Jawa yang tidak boleh dikenakan oleh peserta Baritan. Busana Jawa tersebut adalah iket/ blangkon dengan warna gadhung wulung yaitu warna hitam dan coklat. Hal ini disebabkan karena busana juga merupakan representasi strata bagi yang mengenakan. Motif yang sudah dikenakan oleh orang yang memiliki pangkat lebih tinggi tidak diperkenankan untuk dipakai oleh orang lain dengan maksud sebagai bentuk penghormatan bagi orang yang memiliki kedudukan lebih tinggi, seperti motif gadhung wulung yang dahulu dikenakan oleh kaum bangsawan yang datang di dusun Degung.
Semua peserta yang telah tiba di lokasi diadakanya Baritan berkumpul dan bersiap di halaman depan makam Ki Adi Agung. Di halaman tersebut peserta duduk melingkar mengelilingi sesaji dan aneka macam hidangan kenduri yang telah dibawa oleh masing-masing peserta. Sesaji terdiri dari ingkung ayam kampung, nasi uduk, pisang raja, apem yang terbuat dari tepung beras, kembang kinang, daun keningkir, lepet, ketupat, dan jongkong intil. Jongkong intil adalah kependekan dari joko ngintil yang terbuat dari tepung seperti adonan seperti kue tetapi tidak untuk dimakan. Jongkong intil berbentuk seberti bentuk tubuh manusia dan ditempel kedelai hitam sebagai mata, hidung, mulut, dan juga lubang pusar. Jongkong intil ini pasti kita temukan di setiap sesaji dalam berbagai acara. Selain itu dalam sesaji juga terdapat tukon pasar atau jajanan pasar tentunya adalah berbagai macam jajanan yang dibeli di pasar seperti kerupuk, buah, dan lain sebagianya dalam hal ini tidak ada ketentuan khusus. Sedangkan hidangan lain yang dibawa oleh peserta dalam upacara ini berupa nasi beserta lauk pauknya. Untuk lauk tidak dibatasi apa saja jenis-jenis lauk yang harus dibuat, peserta bebas akan membuat berapapun jenis lauk dan jumlah lauk yang dibawa. Biasanya peserta dengan permohonan yang cukup banyak akan membawa hidangan atau lebih khususnya ingkung dengan jumlah yang banyak tetapi jika tidak pun tidak menjadi masalah.
Baritan dimulai setelah semua peserta dan segala macam hidangan beserta perlengkapan lainya sudah siap. Baritan diawali dengan pembukaan yang dibawakan oleh Kepala Dusun sebagai ketua penyelenggara acara. Setelah itu Baritan dilanjutkan dengan mengumandangkan azan dan iqamah. Azan inilah yang membedakan dengan ritual malam 1 Surå di dusun lain, karena azan ini dilakukan oleh empat orang yang berdiri saling membelakangi menghadap ke empat arah mata angin yaitu barat laut, timur laut, tenggara, dan barat daya. Suara Azan yang berkumandang diyakini oleh warga dapat penolak bala juga makhluk halus yang ingin mengganggu ketentraman warga Degung.
Setelah iqamah selesai dikumandangkan acara dilanjut dengan pembacaan surah Yasin agar masyarakat dusun diberikan limpahan berkah dan rizki dari sang Khalik. Selesai surah Yasin dibacakan dilanjut dengan memanjatkan doa untuk leluhur Ki Adi Agung yang diyakini bahwa berkah yang dinikmati oleh warga Degung selama ini tak lain juga merupakan buah perjuangan dari Ki Adi Agung. Tak lupa memanjatkan doa untuk harapan-harapan serta permohonan dari seluruh peserta yang hadir dalam upacara Baritan. Harapan-harapan yang dibawa oleh peserta Baritan ini sebelum acara dimulai disampaikan terlebih dahulu kepada ketua penyelenggara. Daftar harapan dan doa-doa peserta tersebut dibacakan secara satu per satu di awal saat acara pembukaan. Masyarakat meyakini semakin banyak yang meng aminkan maka semakin besar kemungkinan dikablkannya doa kita.
Setelah serangkaian acara inti selesai dilaksanakan kemudian dilanjut dengan acara yang paling dinantikan oleh seluruh peserta yang hadir di upacara tersebut dan merupakan ciri khas dalam rangkaian acara kenduri, yaitu membagikan hidangan yang telah dibawa oleh masing-masing peserta sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat dan rizki yang diberikan oleh sang maha pemurah Allah SWT. Kerukunan dan rasa saling peduli antar sesama sangat terasa dalam prosesi ini. Hidangan yang dibagikan boleh langsung dinikmati ditempat atau bisa dibawa pulang untuk dibagikan kepada keluarga yang ditinggalkan di rumah agar berkah yang didapat bisa dirasakan secara utuh satu keluarga. Prosesi saling berbagi hidangan ini telah mengalami perubahan antara jaman dahulu dan sekarang. Baritan jaman dahulu peserta bisa sampai berebut untuk mendapatkan makanan dan langsung dinikmati di tempat karena kondisi rakyat di jaman dahulu masih sangat susah untuk bisa makan dengan cukup. Beda dengan kondisi saat ini mayoritas masyarakat kita sudah lebih sejahtera dan kebutuhan pangan sudah tercukupi sehingga tidak terjadi saling berebut makanan sehingga acara dapat berjalan dengan kondusif.
Prosesi berbagi hidangan kenduri ini menjadi puncak sekaligus penanda bahwa rangkain prosesi upacara adat Baritan telah berakhir. Semua peserta merasakan kebahagiaan dan pulang dengan membawa berkah serta harapan akan terkabulnya segala pinta dari sang pencipta. Akan tetapi bagi warga masyarakat dusun Degung Baritan belum usai di sore tersebut, acara masih dilanjutkan malam harinya yaitu malam tirakatan. Malam tirakat adalah malam dimana masyarakat dusun Degung terjaga dari tidurnya semalaman hingga pagi datang atau masyarakat Jawa biasa menyebutnya dengan lèk-lèkan yang berasal dari kata dasar mêlèk. Tirakat sendiri berarti menahan hawa nafsu dalam hal ini adalah menahan kantuk dimana dalam nilai luhur budaya Jawa kita dianjurkan untuk mengurangi nafsu makan dan juga tidur. Malam tirakat dalam Baritan adalah malam yang penuh lantunan doa dengan harapan dapat menghalau energi negatif beserta hal-hal yang tidak diinginkan di malam datangnya tahun baru, selain itu yang paling utama tentunya adalah masyarakat dusun Degung senantiasa dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa, terkabulnya doa serta berjuta harapan dan cita-cita masyarakat dusun Degung di tahun yang baru. Tahun yang diharapkan menjadi tahun yang membawa perubahan. Perubahan yang lebih baik bagi masyarakat dusun Degung dalam mengemban tugasnya diatas bumi yang semakin rapuh.