Selayang Pandang Upacara Tedhak Siten




Faizal Noor Singgih, S.T.P

Upacara tedhak siten merupakan salah satu upacara dalam rangkaian daur hidup manusia Jawa, yaitu upacara yang dilaksanakan untuk anak balita pada usia tujuh bulan atau tujuh lapan (kurang lebih delapan bulan), ketika anak mulai tetah atau latihan berjalan. Sebagaimana masyarakat Jawa yang penuh dengan bahasa simbol atau perlambang, upacara tedhak siten pun digelar dengan beberapa rangkaian acara yang mengandung makna.

Tedhak berarti turun; dan siten berasal dari kata siti yang berarti tanah. Dengan demikian dapat diartikan, upacara tedhak siten adalah upacara turun ke tanah bagi balita. Rangkaian upacara sebagai sarana untuk mulai memperkenalkan anak kepada dunia yang akan ditapaki, yaitu perjalanan hidup dan kehidupan. Rangkaian upacara ini juga penuh dengan doa dan harapan bagi anak dalam menjalani kehidupannya kelak.

Rangkaian acara dalam upacara tedhak siten adalah sebagai berikut :

  1. Pangabekte
    Pangabekten atau sungkeman ini dilaksanakan oleh kedua orang tua si anak yang akan melaksanakan upacara tedhak siten, kepada orang tua dan juga mertua. Kandungan makna dalam pangabekten ini adalah, pendidikan kepada anak tidak hanya dengan tutur lisan saja namun juga dengan langkah nyata sebagai contoh, untuk selalu berbakti orang tua dan leluhurnya.
  2. Tedhak Siten
    Selesai pangabekten, orang tua membimbing anak untuk tedhak siti, menapak tanah yang telah disiapkan pada wadah tertentu. Sebagai sarana untuk memberikan piwulang kepada  anak agar selalu ingat bahwa manusia diciptakan dari tanah, hidup menapak di tanah dengan memanfaatkan berbagai hasil bumi, dan kelak ketika wafat akan kembali ke tanah, dikebumikan. Lambang harapan dan doa, agar kelak si anak dijauhkan dari sifat sombong, memiliki watak andhap asor, dan selalu bersyukur atas semua karunia Tuhan.
  3. Wijikan
    Setelah menapak tanah, kaki anak lalu dibasuh dengan tirta sekar setaman, air bersih yang dicampur dengan bunga setaman (mawar merah, mawar putih, kanthil, kenanga dan melathi), dalam wadah bokor. Sebuah harapan dan doa agar langkah anak dalam menapaki kehidupannya dituntun dalam keutamaan, sehingga meninggalkan tapak jejak yang harum, yaitu nama baik.
  4. Napak Jadah 7 Warni
    Selesai wijikan, anak dibimbing untuk menapak tetel atau jadah 7 rupa warna (putih, merah, kuning, hijau, biru, ungu, hitam,). Jadah dibuat dari beras ketan yang ditanak kemudian ditetel, ditumbuk hingga padat menyatu. Lambang ketekunan untuk menggapai cita cita, akan membuahkan dan memetik hasil yang diidamkan. Warna putih, lambang kelahiran, bahwa bayi dilahirkan dalam keadaan suci. Warna merah, lambang berani, semangat membara. Warna kuning, lambang karaharjan, kemuliaan yang harus diperjuangkan. Warna hijau lambang kemakmuran, kesuburan dan harapan. Warna biru, lambang keluhuran dan keluasan hati dalam menerima segala hal yang akan dihadapi. Warna ungu, lambang kebijaksanaan yang harus menjadi dasar dalam setiap langkah. Warna hitam, lambang kalanggengan, agar selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tawakal kepadaNya.
  5. Minggah Andha Tebu Arjuna
    Tangga tebu ini dirakit dari tebu wulung, dilengkapi dengan 7 anak tangga, dan disebut dengan andha tebu Arjuna atau rejuna. Tebu dalam khasanah budaya Jawa sebagai lambang antebing kalbu, kemantapan hati. Warna wulung lambang kebijaksanaan. Sedangkan Arjuna adalah seorang ksatria tokoh panengah Pandawa sebagai sosok lelananging jagad, memiliki berbagai macam kesaktian dan kepandaian, namun semuanya didermakan untuk kepentingan masyarakat, tidak hanya untuk kepentingan pribadi. Watak ksatria adalah lathi-ati-pakarti nyawiji, dapat menjaga ulat-ulah-ilat. Sedangkan kata rejuna, berarti tempat untuk kebenaran dan keadilan. Tujuh anak tangga, atau tlundhakan pitu melambangkan berbagai harapan, karena angka tujuh atau pitu dalam khasanah budaya Jawa mengandung berbagai pengharapan; pituduh – ditunjukkan jalan yang benar/utama; pitutur – doa restu dari orang tua maupun sesepuh / leluhur sebagai bekal melangkah; pitulungan – pertolongan dari Tuhan dengan segala sarananya; pitulus – diberikan jiwa iklas lila legawa menerima semua ketentuan Tuhan; piturun – dapat menjadi suri tauladan yang baik bagi keturunan; pitukon – selalu sadar bahwa jer basuki mawa beya;  pituwas – mendapatkan kemulian dari hasil kerja keras.
    Menaiki tangga tebu Arjuna juga melambangkan perjalanan tujuh masa bagi manusia, yaitu mulai dari masa kandungan – masa kelahiran/bayi – masa kanak-kanak – masa remaja – masa dewasa –  masa tua atau usia senja dan kembali tiada.
  6. Junjungan
    Setelah menapaki 7 anak tangga, orang tua menjunjung atau mengangkat anak tinggi- tinggi, sebagai lambang dukungan sepenuhnya bagi buah hati untuk menggapai luhurnya cita-cita, namun juga agar tetap ingat kepada asal muasalnya, bapa angkasa ibu pertiwi.
  7. Lenggah dhampar
    Anak didudukkan di dhampar atau kursi, yang juga dibuat dari tebu wulung. Dhampar merupakan tempat duduk bagi raja. Sebagai lambang tercapainya cita-cita, memperoleh kemuliaan dalam puncak kehidupannya.
  8. Mandhap andha
    Setelah duduk beberapa saat di dhampar, anak dibimbing untuk menuruni tangga. Sebagai piwulang cakra manggilingan, bahwa segala sesuatu pasti akan berputar silih berganti. Setiap manusia memiliki waktunya tersendiri.
  9. Sengkeran Milih Dolanan
    Setelah turun dari tangga, anak kemudian dimasukkan ke dalam kranji atau kurungan, yang didalamnya disediakan berbagai mainan. Lambang bahwa setiap pribadi yang hidup di tengah masyarakat memiliki tanggung jawab masing-masing, namun harus mentaati peraturan, pranata, norma dan nilai yang berlaku. Di sisi lain, dalam rangkaian upacara ini dapat untuk melihat tumbuh kembang anak baik secara sensorik dan motoriknya.
  10. Siraman
    Setelah memilih salah satu mainan atau barang yang dikehendaki ketika dimasukkan dalam kurungan atau kranji, selanjutnya anak dimandikan dengan menggunakan air atau toya gege dalam wadah pengaron. Toya gege adalah air yang telah diembunkan semalam, lalu pada pagi harinya dijemur agar terkena sinar matahari pagi yang mengandung sinar ultraviolet. Gege juga berarti harapan agar disegerakan. Sedangkan wadah menggunakan pengaron, sebagai lambang pangarep arepe wong sakloron, harapan kedua orang tua si anak. Pengaron merupakan wadah yang digunakan untuk ngaru, sebuah langkah ketika adang sekul atau menanak nasi, yang baru setengah matang. Lambang bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk nggulawentah, membimbing dan mengolah anak agar memiliki kematangan jiwa. Setelah selesai dimandikan, anak kemudian dibusanani untuk tahapan rangkaian upacara selanjutnya.
  11. Udhik-udhik
    Ketika anak dibawa masuk untuk berbusana, para eyang menyebarkan udhik-udhik kepada para tamu yang hadir, sebagai suri tauladan dengan harapan agar kelak sang cucu dapat menjadi pribadi yang gemar dedana, bersedekah, berderma, berbagi kebahagian dengan sesama. Udhik-udhik ini berupa beras kuning dicampur dengan berbagai macam biji-bijian, bunga setaman, irisan empon-empon serta uang.
  12. Geretan
    Setelah anak selesai dipakaikan busana, dengan membawa geretan berupa batang tebu wulung yang di ujung bagian atasnya diletakkan ingkung ayam jago, dan bagian bawah dipasang sesisir pisang raja, anak dibimbing menuju tempat duduk para eyangnya, untuk memohon doa restu. Disebut geretan karena dalam membawanya dengan digeret atau diseret, sesuai kemampuan anak. Tebu lambang antebing kalbu, kemantapan hati; ingkung ayam jago lambang manekung, selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa; sedangkan pisang raja atau gedhang raja lambang gegadhangan amrih raharja.
  13. Andum dolanan
    Rangkaian acara selanjutnya adalah andum dolanan atau membagikan berbagai mainan tradisional kepara anak-anak yang hadir maupun para tamu. Mainan yang dibagikan merupakan mainan yang dapat dimainkan secara bersama-sama, agar anak dapat belajar berinteraksi sosial.
  14. Ngrencak sajen
    Pamengkugati mempersilahkan bagi para tamu untuk mengambil bagian sesaji atau sajen yang sudah disiapkan sejak awal upacara. Sebagai tanda syukur kehadirat Tuhan bahwa upacara dapat berjalan lancar, kemudian dilanjutkan dengan jamuan untuk para tamu.

Gambar foto tempat dan ubarampe untuk upacara tedhak siten R.M. Abya Abinawa Suryaputra

Putra

B.P.H. Kusumo Bimantoro - B.R.Ay. Maya Lakshita Noorya Kusumo Bimantoro

Cucu

K.G.P.A.A. Pakualam X





img

Jogja Belajar Budaya

JB Budaya adalah salah satu layanan unggulan Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan DIY yang terintegrasi dengan jogjabelajar.org. JB Budaya merupakan media pembelajaran berbasis website yang mempelajari tentang budaya-budaya di Yogyakarta.




Artikel Terkait

Artikel yang juga anda sukai

Tembang Mijl

Tembang Mijl merupakan menggambarkan keadaan ketika bayi dilahirkan setelah ± 9 bulan berada di rahim sang ibu dengan kehendak Tuhan bayi lahir ke....

Baca Selengkapnya