Sumber Foto: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1981/1982
Bermain, merupakan sebuah kegiatan yang sangat akrab dengan kehidupan manusia. Pada saat manusia berada dalam proses pembentukan diri, dari kanak kanak menuju dewasa, tidak satupun diantara individu yang tidak mengenal 'permainan'. Seiring dengan perkembangannya, teknologi turut membawa perubahan pada seperti apa bentuk kemasannya dan bagaimana cara bermain dengan mengadopsi teknologi terkini. Indonesia, ditengah identitasnya sebagai Negara yang banyak memiliki ragam budaya termasuk dengan adanya permainan tradisional, dalam tiga dasawarsa terakhir sedang marak dengan masuknya berbagai macam bentuk mainan (toy) dan permainan (game) yang berasal dari luar. Permainan baru tersebut telah dan akan semakin menjauhkan anak-anak dari hubungan pertemanan yang personal keimpersonal, menipisnya orientasi wawasan dari komunikalistik ke individualistik, mempertegas perbedaan latar belakang ekonomi, dan yang terutama adalah kekhawatiran terwujudnya momokakan menghilangnya wawasan terhadap kebudayaan sendiri.
Dilain sisi, permainan tradisional anak mulai berangsur lenyap. Beragam faktor yang melatarbelakanginya seperti adanya jenis permainan tradisional yang sudah tidak populer lagi untuk dimainkan, lahan untuk bermain yang sudah tidak memungkinkan lagi, semakin sempitnya waktu untuk bermain, atau semakin beragamnya bentuk-bentuk baru permainan anak untuk dijadikan pilihan.
Nah, kali ini kita akan membahas tentang permainan “anjir” yang berasal dari Daerah Istiewa Yogyakarta. Namun apabila tumbuh dan di daerah mana asal-usulnya tidak dapat mengetahui dengan pasti. Untuk Daerah Istimewa Yogyakarta daerah perkembangannya adalah di pedesaan sewilayah DIY, hanya saja nama dan alat bermainnya yang berbeda.
Kata “anjir” berarti sesuatu yang kecil dan panjang dalam letak berdiri, yang sering merupakan suatu tanda untuk ukur -mengukur tanah. Mengapa permainan ini disebut anjir, mungkin karena sabit atau arit yang dilemparkannya itu harus dapat terletak berdiri tertancap di tabah, itu letaknya bagaikan anjir.
Permainan ini biasa dilakukan pada waktu anak-anak sedang menggembala dan mereka telah berhasil mengumpulkan rumput untuk makanan ternaknya. Dan lagi rumput yang berhasil mereka kumpulkan cukup banyak. Sebab dalam permainan ini yang menjadi taruhan rumput, maka tak mungkin apabila dilakukan pada waktu menggembala pada pagi hari sekira pukul 10.00 sampai dengan pukul 11.00. Kalau menggembalanya pada sore hari sekira pukul 16.00 sampai dengan pukul 17.00. Waktu dan peristiwanya memang tertentu, bisa pagi bisa sore di waktu menggembala. Permainan itu tidak ada sangkut pautnya dengan suatu peristiwa adat ataupun upacara tertentu.
- Latar Belakang Sosial Budayanya
Sebagai Penggembala banyak yang melakukan berbagai iseng, seperti membuat wayang dari bahan alang-alang, membuat alat bermain yang lain seperti ketapel (plintheng), membuat boneka (anak-anakan) dari kayu randu dan kesibukan lainnya untuk mengurangi rasa kanthuk atau untuk menambah keakraban diantara para penggembala. Demikian pula permainan ini mereka kerjakan untuk mengisi kekosongan, untuk mengurangi kebosanan dan untuk sekedar rekreasi. Sewaktu rumputnya terkumpul banyak, ternaknya belum kenyang, sedang waktu masih memungkinkan, maka jadilah permainan itu. Apabila yang dijadikan taruhan itu rumput, ini berarti bahwa mereka telah mendapatkan rumput cukup banyak, sehingga walaupun ada ygang ditaruhkan, waktu pulangpun mereka tetap membawa rumput yang telah cukup pula. Jadi tidak mungkin apabila semua rumput hasil cariannya dijadikan taruhan semua. - Peserta/Pelaku Permainan
Jumlah peserta permainan ini dapat 2 anak, 3 anak, 4 atau 5 anak. Lebih dari 5 pun juga bisa, tetapi yang umum adalah antara 2 sampai 5, lebih dari 5 dirasa terlalu banyak.
Mengingat permainan ini hanya dilakukan oleh para penggembala, maka boleh dikatakan pula selalu anak laki-laki, walaupun banyak pula anak-anak perempuan yang sering ikut menggembala dan ikut mencari rumput. - Peralatan Permainan
Untuk permainan anjir ini diperlukan sabit atau “arit” sebagai alat bermain. Seperti kita ketahui, sabit untuk anak gembala adalah merupakan suatu kelengkapan. Sabit merupakan satu-satunya alat kerja mereka. Karenanya, maka pemeliharaan anak gembala terhadap terhadap sabitnya selalu baik, dan sangat tajam. Selain itu juga sebuah tanah untuk tempat bermain. Dan untuk mencari tanah lapang ini bagi mereka tidak ada kesukarannya. - Iringan Permainan
Permainan yang khusus dilakukan anak laki-laki pada umumnya tidak memerlukan iringan lagu. Demikian permainan anjir ini juga tidak ada iringan lagunya, baik vokal maupun instrumental. - Persiapan Permainan
Bagi anak gembala untuk melakukan permainan anjir ini tidak memerukan persiapan apapun, cukup sewaktu-waktu saat menggembala dan mereka berkrhrndak bermain, jadilah sudah. Sebab untuk alat bermain jelas meraka semua memiliki sebuah sabit (arit), sedangkan tanah lapang untuk bermain sudah pasti tersedia. - Peraturan Permainan
a. Sabit (arit) yang dipergunakan harus lengkap (bertangkai)
b. Yang dinyatakan berhasil bila bagian ujung sabit tertancap dengan baik di tanah dan dalam posisi berdiri.
c. Banyak sedikitnya rumput yang ditaruhkan ditentukan dan telah dikumpulkan.
d. Peserta yang menang itulah yang mendapatkan rumput taruhan.
e. Bila yang berhasil lebih dari satu, dipertandingkan lagi hingga yang menang tinggal satu orang saja.
Jatuhnya sabit yang berhasil menancap dengan baik di tanah - Tahapan Permainan
a. Tahap pertama
Setelah persiapannya telah siap, ialah arena permainan dan sabit mereka masing-masing, maka mulailah mereka menyiapkan diri. Peserta A B C D berdiri pada garis batas tertentu, mereka memegangi sabit mereka masing-masing pada bagian ujung dengan ibu jari dan jari telunjuknya. Sedang di hadapan mereka terletak tanah lapang yang kira-kira berukuran dari 5 x 15 meter.
Cara memegangi sabit untuk dilempar
b. Tahapan Kedua
Dengan bebas, jadi tidak perlu bersamaan, mereka mulai mengayun-ayunkan sabit mereka masing-masing memakai ujung jari telunjuk dan ibu jarinya. Apabila sudah terkonsentrasi dan telah siap benar, maka dilemparkanlah sabit itu ke depan, dan di usahakan sekali jatuhnya sabit berdiri dan menancap tegak pada tanah. Itulah yang dinyatakan berhasil. Apabila menancap kemudian jatuh, termasuk tidak berhasil. Apalagi yang jatuh tergeletak, jelaslah tidak berhasil.
c. Tahap Ketiga
Apabila diantara A B C D tidak ada yang menancap ditanah dengan baik, maka permainan diulangi lagi, sehingga ada yang menancap baik di tanah.
Apabila diantara peserta A B C D itu misalnya C saja yang berhasil menancap dengan baik di tanah, maka onggokan rumput yang jadi taruhan itu semunya menjadi milik C.
Apabila di antara A B C D ternyata yang berhasil menancap dengan baik ditanah itu sabit milik C dan D, maka C dan D mengulangi permainannya hingga misalnya D lah yang berhasil sabitnya menancap di tanah dengan baik. Sehingga D lah yang berhak memimiliki onggokan rumput taruhan itu. Dengan demikian maka berakhirlah permainan itu. - Konsekuen Kalah Menang
Karena permainan ini merupakan permainan yang menggunakan taruhan, maka jelaslah konsekuensi bagi yang menang dan yang kalah. Bagi yang menang, maka ia berhak memiliki rumput taruhan dari para peserta. Sehingga si penggembala pulang membawa rumput yang cukup banyak jumlahnya. Bagi mereka yang kalah, sudah jelas rumput taruhannya menjadi milik yang menang, sehingga hasil rumput yang mereka bawa berkurang sedikit. Tetapi karena rumput-rumput itu hanyalah hasil carian mereka masing-masing, merekapun tetap gembira.
Sumber :
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1981/1982
Nicko Perdana Putra (2007), Perancangan dan Implementasi Permainan Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta.