Oleh: Waliy Asluki, S. Pd (SMA Negeri 2 Bantul)
Banyak orang yang tidak mengetahui cerita rakyat dari kabupaten tempat dimana mereka tinggal. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa cerita rakyat yang dahulu diwariskan dari nenek moyang mulai hilang karena kemajuan zaman dan orang-orang menganggap bahwa cerita rakyat yang dulu ada hanya sebagai dongeng bagi anak-anak yang akan tidur atau disebut dongeng sebelum tidur. Apalagi di kalangan para generasi muda zaman sekarang yang sudah mulai tidak mau tahu tentang cerita rakyat didaerahnya dan lebih memilih memainkan gawainya setiap saat. Padahal dari cerita rakyat kita bisa belajar dan mengambil nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya untuk dijadikan pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari.
Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri memiliki 4 Kabupaten 1 Kotamadya, yakni Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunungkidul, Kabupaten Kulonprogo, dan Kota Yogyakarta. Di setiap Kabupaten maupun Kota masing-masing memiliki cerita rakyat yang sudah ada sejak zaman dulu. Salah satu cerita rakyat yang akan dibahas yakni berasal dari Kabupaten Bantul.
Apabila dilihat dari bentang alamnya, wilayah Kabupaten Bantul terdiri dari daerah dataran yang terletak pada bagian tengah dan daerah perbukitan yang terletak pada bagian timur dan barat, serta kawasan pantai di sebelah selatan. Kondisi bentang alam tersebut relatif membujur dari utara ke selatan. Secara geografis, Kabupaten Bantul terletak antara 07º44'04" 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul, di sebelah utara berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia (https://bantulkab.go.id/).
Salah satu desa di Kabupaten Bantul terdapat cerita rakyat tentang asal-usul nama desa tersebut. Tidak hanya cerita lisannya saja namun terdapat bukti fisik yang sampai saat ini masih ada sebagai tetenger bahwa pernah ada cerita di desa tersebut dan masih terawat dan dilestarikan keberadaannya oleh masyarakat sekitar. Cerita rakyat ini terjadi di Desa Segoroyoso.
Segoroyoso saat ini (demikian pula pada masa Perang Kemerdekaan II) adalah nama wilayah pemerintahan desa atau Kalurahan di daerah Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat ini (sejak tahun 1975) Kalurahan Segoroyoso termasuk di dalam wilayah Kecamatan Pleret. Kalurahan Segoroyoso sebelah utara berbatasan dengan Kalurahan Bawuran (juga Kecamatan Pleret), sebelah selatan berbatasan dengan Kalurahan Wukirsari (Kecamatan Imogiri). Sebelah barat dibatasi oleh sungai Opak yang juga merupakan batas wilayah Kecamatan Pleret, sedang di sebelah timur berbatasan dengan Kalurahan Wonolela (juga Kecamatan Pleret). Kalurahan Segoroyoso terdiri dari 9 Pedukuhan. Salah satu pedukuhannya juga bernama Segoroyoso (penduduk setempat secara gampang menyebutnya “ngGroso”), di mana bertempat tinggal Lurah Desa Segoroyoso Gardoutomo yang rumahnya dijadikan Balai Desa dan Kantor Kalurahan. Rumah Gardoutomo inilah yang pada masa Perang Kemerdekaan II menjadi markas komando perang semesta mempertahankan kemerdekaan.
Luas daerah Kalurahan Segoroyoso ada 458,0125 Ha. Area ini terdiri dua macam keadaan, yaitu sebelah utara merupakan tanah ngarai (dataran rendah), sedang sebelah selatan tanah pegunungan dengan puncak punggungnya seperti membentengi bagian selatan. Deretan pegunungan di selatan ini seolah-olah merupakan “tanggul” waduk raksasa. Perkataan Segoroyoso berasal dari bahasa Jawa: ‘segoro’ (segara) dan ‘yoso’ (yasa). (sumber buku Api Segoroyoso)
Kata ‘segara’ dalam bahasa Jawa (tulisan Jawa) lebih aslinya ditulis 'Sagara'. Kamus Baoesastra Djawa (WJS Purwadarminta, 1939) mengartikan sagara (ngoko): seganten (krama): “kendhonganing bumi” (genangan air asin yang luas sekali meliputi sebagian bumi). Kata ‘yasa’ oleh kamus yang sama ditulis sebagai berikut: Yasa (krama/ngoko): gawe, ngedegake omah lsp (membuat, mendirikan rumah dan sebagainya). Sedang 'yasan' diartikan: gegawean, gawean, tetiron (membuat sesuatu, buatan, tiruan).
Jadi perkataan "Segoroyoso" (segara – yasa, segara – yasan) dapat kita artikan: "laut buatan" atau "laut tiruan", yaitu laut yang dibuat oleh manusia (bukan alami) atau telaga besar yang dibuat untuk meniru laut.
Seperti masyarakat pedesaan yang lain di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta, penduduk Segoroyoso masih melestarikan berbagai kegiatan tradisi lama, misalnya upacara adat seperti: supitan, selapanan bayi, mitoni, jagong bayen, pernikahan, selamat orang meninggal dan sebagainya. Selain itu upacara adat bersifat keagamaan juga masih diselenggarakan, seperti: nyadranan, ruwahan, bersih desa. Masyarakat pun masih menghormati tempat-tempat keramat terutama petilasan-petilasan yang menurut cerita rakyat masih ada hubungannya dengan peninggalan sejarah bekas kerajaan Kanjeng Sultan Agung.
Di dalam buku "Api Segoroyoso" yang dikeluarkan oleh Proyek Pemeliharaan Tempat-Tempat Bersejarah dan Perjuangan Bangsa, Dinas Sosial Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta disebutkan bahwa menurut penyelidikan para ahli pusat kerajaan Mataramdibawah pemerintahan Sultan Agung itu terletak di daerah Kalurahan Pleret, Kecamatan Pleret sekarang. Sedang wilayah Kalurahan Segoroyoso termasuh daerah cepuri Kraton Mataram itu. "Segoro Yasan" (laut buatan) yang merupakan bagian dari Kraton Mataram itu, demikian pula bekas-bekas pasangan batu bata bangunan banyak kita temukan di daerah Segoroyoso. Hal ini menjadikan desa Segoroyoso ini memiliki potensi tinggi yang dapat dikembangkan menjadi daerah pariwisata.
Desa Segoroyoso sendiri memiliki cerita rakyat yang bermacam-macam. Namun, yang akan dibahas pada kesempatan ini yakni cerita rakyat tentang tapak kuda sembrani yang berada di wilayah Segoroyoso. Cerita tentang tapak kuda sembrani sampai saat ini masih dapat kita dengar dari para sesepuh bahkan bisa kita lihat jejak peninggalan yang bisa menjadikan bukti nyata bahwa cerita tersebut memang ada.
Menurut cerita, Sultan Agung membuat lautan yang dahulunya di tempat itu memang terdapat telaga atau danau besar, yang artinya didapat dengan membendung sungai opak dan sungai Wonoyoso (dahulu sungai Pesing). Lautan buatan atau Segoroyoso ini digunakan sebagai sarana pertemuan antara Kanjeng Sultan Agung dengan Ratu Kidul, yang konon kabarnya Sultan Agung menjalin hubungan cinta dengan Ratu Kidul. Suatu ketika Sultan Agung sedang berada di sekitar Segoroyoso yakni di bukit Permoni yang berada di sisi barat daya Segoroyoso, tiba-tiba didatangi Ratu Kidul yang menaikki kuda Sembrani, kuda Sembrani yaitu jenis kuda tetapi memiliki sayap yang bisa terbang. Dengan kedatangan Ratu Kidul tersebut maka Sultan Agung bercengkerama dengannya di Segoroyoso. Pada saat Ratu Kidul sedang bercengkerama dengan Sultan Agung, kuda Sembrani tadi ditambatkan disekitar bukit Permoni.
Di sekitar lokasi bukit Permoni tersebut terdapat jejak-jejak (tapak tilas) yang oleh masyarakat dihubungkan dengan keberadaan kuda Sembrani (kendaraan Ratu Kidul). Disitu terdapat empat lubang bekas kaki kuda atau tapak kuda dan di sisi depannya terdapat lekukan yang dianggap sebagai tempat minum kuda Sembrani. Dan sampai sekarang pun oleh masyarakat sekitar masih dipertahankan kelestariannya sehingga walaupun di sekitar bukit tersebut ditambang batunya oleh masyarakat setempat keberadaan tapak tilas tersebut masih dilindungi atau dijaga keberadaannya. Dalam foto terlihat bahwa di samping kanan, kiri, dan depan sudah tidak ada bebatuan karena ditambang oleh masyarakat dan yang tersisa hanyalah gundukan batu kecil yang masih terlihat dengan jelas bekas kaki kuda.
Dari cerita rakyat tersebut terdapat nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya yang bisa kita ambil pelajaran dan kita terapkan di kehidupan sehari-hari oleh masyarakat sampai saat ini. Nilai-nilai luhur yang ada yakni :
- Nilai Kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang terdapat dalam cerita tersebut yaitu antara Sultan Agung dan Ratu Kidul saling memadu kasih, dan juga ketika keduanya bercengkerama. - Nilai Kemasyarakatan
Nilai kemasyarakatan yang terkandung dalam cerita yaitu gotong royong dalam membuat Segoroyoso atau laut buatan mulai dari pemimpinnya sampai masyarakatnya. - Nilai Kesusilaan
Nilai kesusilaan dalam cerita tersebut yaitu sifat kepemimpinan Sultan Agung dalam mengerahkan masyarakat untuk membuat segoro tersebut. Nilai kesusilaan yang kedua yakni Ratu kidul sangat menyayangi peliharaannya, buktinya ketika Ratu Kidul sedang bercengkerama dengan Sultan Agung, beliau menambatkan kudanya dan memberinya minum.
Dari cerita rakyat tentang tapak kuda sembrani tersebut dapat disimpulkan bahwa ternyata masih banyak cerita rakyat yang belum banyak orang mengetahuinya. Lebih memprihatinkannya lagi sebenernya kita sangat dekat dengan bukti-bukti peninggalan cerita di masa lampau tetapi karena keegoisan kita yang tidak tahu atau bahkan sengaja tidak mau untuk mempelajari atau mencari informasi tentang apa yang pernah terjadi dan cerita-cerita apa yang ada di desa tempat dimana kita tinggal.
Para generasi muda sebaiknya banyak membaca buku-buku atau mencari informasi dari para orang tua tentang cerita rakyat terutama dari daerah tempat tinggalnya agar wawasan atau pengetahuan kita bertambah. Apabila para generasi muda mau dan mampu mengenal lebih dekat dengan daerah tempat tinggalnya, maka akan lebih banyak lagi pewaris yang mewarisi “harta” yang tak ternilai harganya. Para generasi muda juga bisa menjadikan desa tempat tinggalnya menjadi desa yang maju, berkembang dan memiliki potensi untuk mengembangkan desa tersebut menjadi desa yang banyak dikunjungi masyarakat dari luar daerah. Semoga cerita rakyat yang ada tidak akan pernah hilang termakan oleh kerasnya arus globalisasi ataupun modernisasi zaman.