NGUPADI PANAKAWAN (Menciptakan Ruang Temu di Persimpangan Anasir Kebudayaan)



Sumber Foto:   Ilustrasi gambar genyo.id


Ada banyak isu yang laik didiskusikan. Ada isu yang hangat. Ada isu yang hangat kuku. Ada isu yang hot. Ada juga isu yang basi. Meski dipaksa untuk terus timbul lagi. Dan lagi. Di sinilah diperlukan tindakan: memilih dan memilah. Yang basi belum tentu tersisihkan. Dapat juga diketengahkan. Tentu dengan syarat khusus. Misalnya: dengan penggantian sudut pandang. Misalnya lagi: melakukan tindakan pendekatan terhadap sesuatu isu basi via perspektif kebudayaan.

Isu kesetaraan gender adalah satu dari sekian banyak isu basi yang selalu dihangatkan ulang. Kok basi? Karena sudah menjemukan. Kenapa menjemukan? Karena terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kenapa terus diulang? Karena memang penting. Kenapa dianggap penting? Karena hal gender adalah soal kemanusiaan. Kenapa soal kemanusiaan berkedudukan sebagai hal penting? Hla rumangsa sing luwih penting saka manungsa tumrap manungsa kuwi njur bab apa?

Isu pendidikan juga basi. Jangan tanya lagi apa pasalnya! Kecuali masa kecil Anda tidak pernah punya pengalaman dilarang ibu sewaktu berusaha memanjat meja. Itu kan fragmen pendidikan. Atau mungkin Anda tak pernah dimarahi ayah saat mencorat-coret dinding. Itu kan fragmen pendidikan. Atau mungkin juga Anda tak pernah ditegur nenek gegara tak berterimakasih setelah bungah menerima hadiah. Itu kan juga fragmen pendidikan. Belum lagi pengalaman betapa murungnya Anda ketika lamaran kerja tertolak karena ijazah tidak sesuai kriteria yang dibutuhkan. Itu kan fragmen pendidikan. Lebih tepatnya: implikasi pendidikan.

Isu kepemimpinan juga basi. Bukan hanya sejak zaman lahirnya demokrasi yang mensyaratkan pemilu untuk menentukan pemimpin. Bahkan sejak zaman monokrasi, leadership sudah menjadi momok yang menyertai peristiwa suksesi. Jangankan di dalam lembaga bernama negara atau kerajaan, di dalam lembaga bernama rumahtangga isu leadership juga laris dipergunjingkan tetangga. Sialannya, di dalam diri sendiri pun selalu terjadi rebutan kepemimpinan. Setiap hari. Sepanjang usia. Apa itu nggak basi sekali??

Namun jangan lupa! Gudheg, ikon kuliner Jogja, itu hakikatnya juga basi lho. Nyatanya laris sekali. Padahal cuma jangan gori wayu. Kok bisa begitu? Artinya, ngenget jangan wayu itu ternyata juga perlu.

Maka mari kita ngenget jangan wayu dengan kadar antusias yang selaras. Semoga jangan wayu ini nanti menjelma sesuatu yang tak sekadar beda. Lebih dari itu haruslah migunani tumrap wong akeh. Kenapa harus migunani tumrap wong akeh? Agar dapat diharapkan daya tancapnya yang kokoh sebagai akar tumbuhnya kreativitas. Agar juga dapat diharapkan daya jangkaunya yang hebat, tinggi, luas dan akurat sebagai satelit di langit peradaban.

Apakah ini ngayawara? Mungkin. Tapi mencoba meruwat yang mustahil sehingga menjadi nyata itu jelas bukan perbuatan salah. Jangan ragu!

Kita mulai dari ini: kosmologi. Apa itu? Pemahaman tentang semesta. Sebait tembang dari literasi lawas Jawa akan mengantarkan kita. Bunyinya:

angkara gung ing angga anggung gumulung

gegolonganira

triloka lekere kongsi

yen denumbar ambabar dadi rubeda

 

Sebelum terpantik bicara astronomi kaitannya dengan jagad gedhe, alangkah baiknya bicara jagad cilik (mikrokosmos). Jagad cilik itu punya bumi. Namanya Raga. Juga punya langit. Namanya Jiwa. Jagad cilik itu juga punya matahari. Namanya Nalar. Juga punya bulan. Namanya Hati. Serta punya sistem iklim. Namanya Emosi. Dari sistem iklim itu lahirlah siklus musim bernama Pekerti. Bila nalar dan hati tak lagi menjadi kadang kinasih Anda, rusaklah iklim diri, kacaulah musim diri, paceklik bahkan kiamat diri yang kemudian terjadi.

Terjemahan tembang tadi begini: Potensi angkara-murka yang tergulung kecil dan bersemayam di dalam diri ini adalah menggelapkan semesta. Malapetaka datang saat ia diumbar tergelar.

Jadi benarlah rumus mitigasi bencana jagad cilik. Bahwa ati (hati), lathi (ucapan) dan pakarti (perbuatan) yang harus nyawiji (menyatu). Jika tidak, bencana itu telah benar ada.

Peristiwa integrasi tiga unsur ini yang kemudian melahirkan integritas. Nalar sebagai kiblatnya. Sebagai kiblat, nalar harus sembada. Sembada menyerap segala isyarat yang ada. Sembada merekonstruksi tanda agar terbaca.

PR terbesar bab kosmologi adalah kepekaan terhadap fenomena astronomis. Fenomena astronomis jagad cilik berupa reaksi pancaindera berdasarkan kesembadaan nalar terhadap peristiwa di dalam jagad gedhe.

Pada tataran inilah kita diingatkan kepada kebenaran ungkapan lawas Jawa: cedhak tan senggolan, adoh tan wangenan (dekat tak bersinggungan, jauh tak berjarak). Juga pada tataran inilah teori kosmologi menuntun kita untuk memahami definisi komunikasi. Anda sebagai jagad cilik yang tenteram damai oleh integritas akan mampu menjalin komunikasi secara benar dan baik dengan jagad cilik lain dalam kebersamaan di jagad gedhe.

Barang siapa nalarnya tak sembada sungguh tak laik mendapatkan hak kemerdekaan berbicara. Tatkala kepatutan itu terlanggar, yang terjadi selanjutnya adalah persinggungan/pergesekan. Inilah tabrakan antarplanet yang sebenarnya. Yang setiap hari terjadi kini.

Fenomena terkini yang serupa jatuhnya meteor menabrak bumi, yang merupakan implikasi atas pelanggaran ketentuan tadi adalah lesatan-lesatan lolawara (berita yatim-piatu; kabar tak bertuan) alias hoaks. Lolawara itu terbukti liar. Tak patuh pada kepastian garis edar, mengkhianati irama semesta. Dan benar: ia telah melumatkan jagad.

Dalam situasi trend komunikasi yang liar ini lalu bagaimana cara kita dapat merumuskan stratifikasi sosial? Batas antara guru dan murid sudah samar. Batas antara benar dan salah telah pudar. Kepala dan ekor berebut posisi. Spirit eksistensi didominasi oleh ambisi. Seolah ruang semesta ini begitu sempitnya. Begitu perlunya pertikaian demi ruang yang belum dimengerti pengertiaannya. Bisa-bisanya kita seketika lupa secara bersama bahwa hakikat ruang adalah di mana di sana ada cahaya.

Tanpa adanya cahaya; matahari; nalar yang sembada, kekuasaan Anda yang terukur perseginya itu haram disebut ruangan. Lihatlah. Sungguh banyak sudut di semesta ini yang disebut ruang namun nyatanya terjadi diskriminasi berdasarkan perbedaan identitas gender. Cobalah mengerti. Bukankah diskriminasi gender adalah produk jahiliyah? Tradisi yang terlahir dari kebodohan. Adat yang tercipta dari kegelapan akal. Warisan buruk dari ketaksembadaan nalar.

Damailah Anda yang punya panakawan: kawan setia yang mencerahkan. Siapa dia? Ialah nalar sing mulur luhur.

DAFTAR REFRENSI

Dinas Kebudayaan DIY. (2018). Goresan Peradaban #1. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.

Dinas Kebudayaan DIY. (2018). Goresan Peradaban #2. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.

Koentjaraningrat. (1945). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Djambatan.

Penulis : Sinarindra Krisnawan





img

Jogja Belajar Budaya

JB Budaya adalah salah satu layanan unggulan Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan DIY yang terintegrasi dengan jogjabelajar.org. JB Budaya merupakan media pembelajaran berbasis website yang mempelajari tentang budaya-budaya di Yogyakarta.




Artikel Terkait

Artikel yang juga anda sukai