Menilik Lunturnya Tata Krama




Penulis : Sofa Unnafis, S.Pd

Apa yang kita lakukan hari ini berdampak pada masa yang akan datang, diantaranya tentang tata krama sopan santun. Sebagian orang saat ini mengeluh tata krama anak jaman sekarang menurun kwalitasnya, seperti kurangnya hormat terhadap orang yang lebih tua, memudarnya sikap perhatian dan peduli dalam diri anak. Apa penyebabnya? Mari kita simak paparan berikut:

  1. Lunturnya tata krama

    Sebagian dari kawula muda jaman sekarang ketika bertemu, berpapasan ataupun bertamu seperti kehilangan etika. Mereka kurang pas dalam bersikap maupun bertutur kata. Orang lain yang melihat kejadian seperti ini bisa jadi menggumam dalam hati ‘anak kok nggak sopan’. Hal yang perlu digarisbawahi sebenarnya adalah respon orang yang bersinggungan atau yang didekat atau siapapun yang mengetahui hal tersebut. Apa responnya? Tentu respon positif ‘mengkritisi’. Jika hal yang dilakukan seorang anak, remaja atau mungkin orang dewasa sekalipun kurang pas dalam hal bertata krama harusnya ada alarm yang mengingatkan. Penyebab pertama dari lunturnya tata krama adalah lunturnya kepedulian untuk menasehati juga mengingatkan. Mengingatkan ini pun bisa dilakukan dengan berbagai macam cara, agar yang diingatkan bisa menerimanya dengan ringan hati.

    Tujuan dari mengingatkan ini adalah agar si anak tahu dan mengerti, bahwa perilakunya masih kurang pas dalam bertata krama. Harapan selanjutnya adalah anak mengingat nasihat tersebut, tidak mengulangi serta tergerak menerapkan tata krama yang benar. Mengingatkan, menasehati perlu dilakukan berulang-ulang, agar lebih mengena dan terngiang. Namun, ada beberapa hal yang menyebabkan aksi menasehati ini seret atau jarang lakukan.

    Pertimbangan kendurnya nasehat jika terjadi sikap yang kurang pas terkait tata krama atau mungkin juga dalam hal lain yaitu pertama, orang yang akan memberi nasehat merasa bahwa dia bukan siapa-siapa atau tidak ada hubungan darah dengan si anak, sehingga ia merasa tidak harus memberi nasehat. Khawatir pula jika orang yang akan memberi nasehat dianggap ‘ikut campur’. Kedua, pembiaran terhadap praktik kesalahan dalam bertata krama dengan alasan kondisi psikologi anak masih labil, membantah, ngeyel, tidak mau mendengarkan, sehingga lama kelamaan muncul rasa jenuh bahkan rasa putus asa menguasai, akhirnya muncul kata ‘terserahlah- biar sajalah-masa bodoh’ dan lain sebagainya.

    Hal kedua yang mendasari lunturnya tata krama yaitu perubahan atmosfer pendidikan, baik didalam rumah maupun diluar rumah. Keluarga menjadi pendidikan pertama bagi seorang anak, dalam sebuah keluarga diperlukan keharmonisan serta kerelaan atau rasa ikhlas dalam proses mendidik anak. Seorang anak tidak murni seperti perandaian pada umumnya, yaitu seperti lembaran kertas putih dan tergantung bagaimana orang tuanya melukisnya. Tidak. Seorang anak adalah jiwa-jiwa yang terisi sejak dia berada dalam kandungan, ia menerima banyak hal sejak di dalam rahim, mendengarkan, menyimak apa yang terjadi di sekitarnya. Sehingga kelahirannya sudah membawa segenggam memory yang bisa saja mewarnai sikap serta perwatakannya. Bahkan ada riwayat bahwa seorang anak sudah dibekali ilmu kehidupan sejak dari alam ruh.

    Orang tua harus berusaha keras mendidik serta membekali anak untuk meneruskan pengembaraan di luar rumah. Bekal yang bisa diberikan paling tidak ada dua hal, yaitu agama serta budaya. Dalam filosofi Jawa agama dan budaya diibaratkan sebagai keris, keris sebagai agama dan warangka sebagai budaya. Agama tanpa budaya akan membahayakan, sedangkan budaya tanpa agama sesat. Agama sebagai dasar dan pegangan hidup anak, serta budaya sebagai baju yang melindunginya. Budaya disini adalah kebiasaan ataupun rutinitas seorang individu juga sebagai bagian dari masyarakat. Contohnya kebiasaan anak dari sejak bangun tidur hingga tidur kembali, menjaga kebersihan, disiplin, tertib serta menghargai waktu. Sedangkan contoh dalam kehidupan bermasyarakat yaitu kebiasaan menghormati orang yang lebih tua, mematuhi aturan, memberi gambaran jika kelak ia dewasa dan hidup di masyarakat harus bersikap bagaimana, dan memberi pengarahan mengenai kebiasaan-kebiasaan yang sifatnya kearifan lokal. Hal ini diperlukan agar anak paham dan mengerti bagaimana hidup bermasyarakat. Namun kenyataannya sekarang ini banyak anak yang tidak dibersamai orang tuanya, sehingga pendidikan dalam keluarga sangat minim atau mungkin sekedarnya.

    Selanjutnya lunturnya atmosfer pendidikan di bangku sekolah, diantara penyebabnya yaitu pendidik di sekolah tidak lagi diperkenankan menggunakan fisik untuk memberi peringatan. Mungkin sebagian pendapat tidak sepakat dengan hal ini, namun menurut penulis tindakan fisik perlu dilakukan, tentu dengan kadar secukupnya dan tidak berlebihan. Tindakan fisik dalam pendidikan bisa diibaratkan seperti belaian kasih. Bentuk kasih sayang pendidik kepada anak didiknya yang melakukan sesuatu hal tapi belum sesuai dengan aturan, norma yang berlaku. Orang yang memberi belaian kasih sayang sudah pasti belaiannya merupakan bentuk dari rasa sayang kepada yang dibelai. Coba diangan ulang, orang yang sudah tidak peduli terhadap suatu barang, pasti barang tersebut tidak akan mendapat perhatian lagi, tidak peduli mau jatuh, bungkusnya rusak atau malah barang tersebut yang rusak. Lalu bagaimana kita memperlakukan barang yang kita sayang? Sudah pasti akan sering dilihat, dipegang, sering diperhatikan, berkali-kali memastikan barang kita aman, menepuk-nepuknya pelan menjaganya agar tidak kotor, tidak rusak dan lain sebagainya.

    Kunci yang harus dipegang jika terjadi tindakan fisik antara pendidik dan anak didik adalah ikhlas. Hal ini bisa dilihat dari hasil pendidikan masa lampau, dimana banyak sekali murid yang pernah mengalami sistem pendidikan jaman dahulu, yaitu menggunakan tindakan fisik seperti mencubit, menepuk pundak atau lainnya. Dari banyak cerita didapatkan bahwa kontak fisik seperti itu justru diterima dengan ikhlas, karena biasanya akan meningkatkan ketajaman belajar seseorang, atau hasilnya bisa dilihat dikemudian hari setelah bertahun-tahun lamanya. Misalnya si anak menjadi orang yang tangguh, tahan banting, kuat mentalnya dan lain sebagainya.

  2. Terciptanya tata krama baru

    Imajinasi manusia sangat bebas dan luas. Dari imajinasi itulah muncul ide-ide yang unik, aneh bahkan di luar nalar. Ide hasil imajinasi manusia yang sedang viral dan banyak dipraktikkan saat ini adalah prank. Pengertian kata prank adalah lelucon yang mengakibatkan korbannya kaget, heran. Di Indonesia kata ‘prank’ berarti mengolok-olok, senda gurau, seloroh. Media terkuat didunia termasuk Indonesia saat ini adalah media sosial, media yang mampu mewadahi segala sesuatu mulai dari ilmu sampai celoteh penggunanya, termasuk prank yang banyak dipraktikkan para pengguna media sosial saat ini.

                Ketika melakukan aksi ngeprank, seseorang akan sah-sah saja melakukan apapun agar korbannya menjadi pusat perhatian lelucon. Unggah-ungguh atau tata krama tidak lagi menjadi penting, yang terpenting prank berhasil. Seorang murid sah saja mengerjai orang tuanya, gurunya atau siapa saja. Seorang murid yang seharusnya menghormati dengan menjaga marwah gurunya, dengan dalih prank bisa mengerjai dan menertawakan gurunya. Selain itu contoh-contoh 'adegan' pada video-video yang beredar luas di media sosial membentuk terciptanya tata krama baru. Tata krama yang dipahami dan diserap secara sepihak kemudian dipraktikkan berulang oleh para pengguna media sosial baik di kehidupan maya juga kehidupan nyata. Praktik tata krama baru ini oleh kawula muda biasanya enggan disangkal, dan menegaskan bahwa tata krama seperti itu yang berlaku dan lebih diterima oleh generasi muda. Orang yang lebih tua pun tidak mampu membendung perubahan tata krama ini, karena masifnya kawula muda menjiwai. Contohnya sikap ketika bertemu dengan orang yang lebih tua, tidak harus lagi mundhuk-mundhuk, menundukkan badan hingga kepala sebagai tanda hormat. Namun kawula muda diberi contoh untuk tegap dan percaya diri dengan membusungkan dada ketika melewati orang lain. Contoh lain, diera serba digital seseorang bebas berekspresi sehingga tercipta manusia-manusia aktif dan kreatif, namun sayangnya penyerapannya menjadi 'sesuka hati' atau 'semau gue'.

  3. Kodrat alamiah

    Maksud pada poin ini yaitu kewenangan Tuhan sebagai pencipta, pemegang kendali atas apa yang terjadi di dunia. Setiap kondisi pasti tersirat makna serta pelajaran yang ingin disampaikan Tuhan, dengan catatan kita mempelajari, mengupasnya dengan baik. Dalam dunia pewayangan, manusia adalah wayang-wayang pipih yang harus menjalani seluruh cerita yang sudah dirangkai sang dalang. 

    Dalang pemegang kendali keberlangsungan cerita, gerak-gerik tokohnya, wayang tidak memiliki kuasa sedikitpun. Begitu pula manusia sebagai wayang yang dijalankan Tuhan, semua berjalan sesuai kehendak-Nya. Termasuk kondisi sekarang ini, lunturnya tata krama di kalangan kawula muda yang merambat pada kawula tua tanpa sadar. Kita sering berteriak bahwa anak-anak kita luntur norma kesopananannya, namun apakah norma kesopanan kita sudah sesuai? Pertanyaan seperti ini harus sering terlontar agar semua kalangan bersama-sama intropeksi diri. Tidak melulu menyalahkan kawula muda sebagai sentral perhatian sikap perilakunya, namun kawula tua juga harus berlapang dada menanyai diri apakah ia juga sudah menjadi contoh yang baik. Kawula muda sebagai ujung tombak peradaban harus dipegang oleh tangan yang tepat agar titis sasaran. 

    Kodrat alamiah berada diluar kuasa manusia, hanya Tuhan yang tahu dan mampu. Kegelisahan tentang tata krama yang terus bergeser dari jaman ke jaman tidak diketahui secara pasti penyebabnya. Data dan fakta hanya menyebutkan periode-periode perubahan kebiasan/tata krama dalam suatu masyarakat, namun secara pasti dimulai dari mana sejak kapan tidak bisa dipastikan. Maka dari itu, tulisan ini secoret goresan tinta yang ingin menyampaikan bahwa tata krama dimulai dari diri kita, untuk peduli. Peduli agar tata krama tidak mengalami pergeseran ekstrim sehingga merusak norma kehidupan manusia. Peduli untuk terus mengisi kekosongan pengetahuan serta pemahaman siapapun tentang tata krama. Peduli untuk terus greteh terhadap penyelewengan tata krama.




img

Jogja Belajar Budaya

JB Budaya adalah salah satu layanan unggulan Balai Teknologi Komunikasi Pendidikan DIY yang terintegrasi dengan jogjabelajar.org. JB Budaya merupakan media pembelajaran berbasis website yang mempelajari tentang budaya-budaya di Yogyakarta.




Artikel Terkait

Artikel yang juga anda sukai

Unggah-ungguh

A. Pengertian

Unggah-ungguh dalam kamus bahasa Jawa-Indonesia yang disusun oleh Tim Balai bahasa Provinsi DIY tahun 2021 diartikan adab berbahasa yang dibedakan....

Baca Selengkapnya