Oleh : Guru Perhotelan di SMK Negeri 4 Yogyakarta
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad ke-21, semakin berkembang pesat. Perkembangan teknologi memudahkan masyarakat untuk memperoleh pengetahuan dan hiburan. Namun demikian, kemudahan tersebut memberikan dampak yang beragam bagi kehidupan masyarakatnya, salah satunya adalah perkembangan nilai dan kebiasaan dalam suatu lingkungan masyarakat, baik positif maupun negatif. Dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat persebaran informasi menjadi sangat cepat di seluruh dunia, sehingga mendorong terjadinya proses globalisasi di segala aspek. Salah satu aspek yang paling mudah mendapatkan pengaruh globalisasi adalah nilai-nilai kehidupan dalam masyarakat, dengan adanya globalisasi terjadi proses perpaduan nilai, kekaburan nilai, bahkan terkikisnya nilai-nilai asli yang ada (kearifan lokal). Masyarakat terutama anak muda, mulai meninggalkan ajaran-ajaran dan patokan-patokan, yang mengajarkan bagaimana manusia hidup dan bertindak di dalam kehidupan bermasyarakat.
Melalui perkembangan teknologi tersebut anak dapat leluasa mencari dan menonton tayangan yang diinginkanya, padahal tidak semua tayangan dapat memberikan efek positif bagi anak. Dan menurut penelitian yang dilakukan bahwa ketika melihat tayangan yang berbau kekerasan maka anak dapat menggap tindakan kekerasan adalah hal yang biasa, dan memicunya untuk melakukan tindakan yang agresif. Maka tidak heran di era sekarang ini banyak terjadi kasus kekerasan seperti tawuran antar pelajar, yang bahkan sampai merenggut nyawa. Berbagai kasus tersebut mengindikasikan bahwa karakter bangsa kita telah merosot, pendidikan khususnya pendidikan karakter memiliki porsi yang besar gunamengatasi kemrosotan karakter warga Indonesia. Berbagai teori karakter dari ahli terkenal di dunia di ambil dan di terapkan keberbagai ranah pendidikan di Indonesia. Hal tersebut justru membuat kita seakan lupa bahwa kita memiliki sumber-sumber pendidikan karakter yang asli dari budaya kita. Dalam mendidik karakter bangsa kita tentunya dapat memanfaatkan kekayaan budaya bangsa Indonesia, keanekaragaman kultur dan tradisi itu merupakan aset. bangsa yang sangat berharga dan perlu dilestarikan. Termasuk budaya Jawa yang mengandung nilai-nilai luhur adalah bagian dari aset bangsa yang harus jaga agar menjadi simbul kebanggaan/identitas nasional bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan karakter yang berbasis kearifan lokal sangat penting dilaksanakan mengingat praktik pendidikan kita selama ini terlalu berorientasi ke barat dan melupakan nilai-nilai keunggulan yang ada di bumi Nusantara ini.
KARAKTER JAWA PADA PARIWISATA
Sesuai dengan nawacitanya Bapak Jokowi yaitu dengan istilah “10 Bali Baru”, maka tak heran pariwisata di Indonesia dimata pemerintah termasuk program utama yang diprioritaskan. Penting bagi industri pariwisata Indonesia di pemerintahan era Jokowi adalah untuk meningkatkan kontribusinya pada produk domestik bruto (PDB) karena hal ini akan memicu lebih banyak pendapatan devisa (karena setiap wisatawan asing menghabiskan rata-rata antara 1.100 dollar AS sampai 1.200 dollar AS per kunjungan) dan juga menyediakan kesempatan kerja untuk masyarakat Indonesia (berdasarkan data terakhir dari Badan Pusat Statistik, tingkat pengangguran di negara ini mencapai 5,81% di Februari 2015). Diperkirakan bahwa hampir 9% dari total angkatan kerja nasional dipekerjakan di sektor pariwisata.
Saat ini, sektor pariwisata Indonesia berkontribusi untuk kira-kira 4% dari total perekonomian. Pada tahun 2019, Pemerintah Indonesia ingin meningkatkan angka ini dua kali lipat menjadi 8% dari PDB, sebuah target yang ambisius (mungkin terlalu ambisius) yang mengimplikasikan bahwa dalam waktu 4 tahun mendatang, jumlah pengunjung perlu ditingkatkan dua kali lipat menjadi kira-kira 20 juta. Dalam rangka mencapai target ini, Pemerintah akan berfokus pada memperbaiki infrastruktur Indonesia (termasuk infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi), akses, kesehatan & kebersihan dan juga meningkatkan kampanye promosi online (marketing) di luar negeri. Pemerintah juga merevisi kebijakan akses visa gratis di 2015 yang fungsinya untuk menarik lebih banyak turis asing.
Dalam Travel & Tourism Competitiveness Report dari World Economic Forum, yang "mengukur sejumlah faktor dan kebijakan yang memungkinkan perkembangan berkelanjutan dari sektor travel & wisata, yang pada gilirannya, berkontribusi pada pembangunan dan daya kompetitif negara ini,” Indonesia melompat dari peringkat 50 di tahun 2015 menjadi peringkat 30 di tahun 2017, sebuah kemajuan yang mengagumkan. Lompatan ini disebabkan oleh pertumbuhan cepat dari kedatangan turis asing ke Indonesia, prioritas nasional untuk industri pariwisata dan investasi infrastruktur (contohnya jaringan telepon seluler kini mencapai sebagain besar wilayah di negara ini, dan transportasi udara telah meluas). Laporan ini menyatakan bahwa keuntungan daya saing Indonesia adalah harga yang kompetitif, kekayaan sumberdaya alam (biodiversitas), dan adanya sejumlah lokasi warisan budaya.
Bicara warisan budaya, karakter timur kita sebagai bangsa Indonesia sangat dibutuhkan dalam mendukung program tersebut. Dengan adanya karakter timur yang muncul di permukaan dunia pariwisata Indonesia, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara di bidang pariwisata. Yogyakarta sebagai barometer kebudayaan jawa dituntut sebagai pelopor pertama dalam memajukan karakter jawa pada dunia pariwisata yang diantara adalah :
- Aja Dumèh
Aja dumèh ungkapan sederhana tetapi mengandung arti mendalam. Bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia yaitu jangan sok. Pengertian aja dumèh adalah suatu sikap seseorang untuk tidak sombong, yang apabila dilanjutkan mengakibatkan lupa diri. Ungkapan ini dalam dunia pariwisata mengingatkan kepada kita jangan sekali-kali berperilaku dumèh tersebut, sehingga ketika ada wisatawan lokal maupun internasional kita melayani mereka dengan setulus hati tanpa memperhatikan strata sosialnya. - Tepa Selira
Tepa selira secara sederhana diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia tenggang rasa. Tepa selira merupakan perilaku seseorang yang mampu memahami perasaan orang lain. Dengan demikian orang yang mempunyai tepa selira tidak akan bertindak sewenang-wenang jika melayani tamu atau wisatawan. Tepa selira artinya mampu memahami perasaan pengunjung (empati) dalam dunia barat di kenal dengan isitilah trial by the press. Pada dasarnya seseorang yang mempunyai tepa selira adalah tidak cepat-cepat mengambil kesimpulan untuk menyalahkan orang lain. Tepa selira dapat diartikan pula setiap orang menghormati hak-hak azasi manusia dan menghormati pendapat orang lain. - Mawas Diri
Mawas diri adalah memeriksa didalam hati nurani / intronspeksi diri, apakah tindakan yang dilakukan sudah sesuai dengan norma-norma dan tata nilai ataukah belum. Bagi masyarakat Jawa senang menjalankan mawas diri dan berusaha untuk selalu menjadi pedoman cara bertindak guna mendapat jawaban atas persoalan yang dihadapinya. Masyarakat Jawa diharapkan selalu bertindak sesuai moral yang dapat dibenarkan dan dapat dipertanggungjawabkan. Langkah yang dilakukan adalah dengan penuh pertimbangan dengan cara menganalisis lebih mendalam berdasarkan hati nurani. Istilah mawas diri dalam dunia pariwisata adalah, kita boleh menerima semua tingkah laku wisatawan, namun tingkah laku yang merugikan kepentingan umum haruslah kita tinggalkan. - Budi Luhur
Pendidikan budi luhur melatar belakangi pendidikan budi pekerti yang diajarkan di alam lingkungan keluarga sebagai pendidikan inti, maupun di dalam sekolah oleh para guru. Budi luhur adalah perilaku seseorang untuk selalu berbuat yang terbaik dan berbagai kebaikan. Pada prinsipnya kita harus berusaha jangan sampai berbuat jahat dan untuk itu kita harus menjauhkan diri dan perbuatan srei dan drengki. Perbuatan srei adalah perbuatan serakah yaitu ingin mengusai segala-galanya sedangkan drengki adalah iri terhadap keberhasilan atau kekayaan orang lain. Sehingga dengan adanya sikap Budi Luhur pada dunia pariwisata, diharapkan para wisatawan yang datang ke Indonesia merasa nyaman dengan penghuni lokal di daerah wisata. - Gemi, Nastiti, dan Ngati-ati
Gemi artinya pandai menghemat, nastiti artinya cermat yaitu segala tindakan yang akan dilakukan perlu dipertimbangkan masak-masak, dan ngati-ati arti dalam bahasa Indonesia adalah selalu berhati-hati. Ketiga kata tersebut di dunia pariwisata mengandung makna yang mendalam dimana, kita diharapkan menjaga kelestarian alam, tidak bertindak ceroboh dengan merusak atau membunuh kehidupan yang ada, dan ngati-ngati bermakna kita harus selalu waspada dengan kerusakan lingkungan yang ke depan sangat berdampak sistemik bagi kehidupan sekitarnya. - Ajining Dhiri Saka Obahing Lathi
Ungkapan ini dapat diartikan harga dirinya sesorang adalah berawal dari tindak tanduknya ucapan seseorang tersebut. Oleh karena itu, kita dalam menerima wisatawan harus hati-hati dalam berkata sehingga harga diri negara Indonesia sebagai negara yang sopan, negara yang menghargai perbedaan suku, bangsa, dan agama dapat terjaga di mata negara lain.
Dari karakter diatas, maka pendidik dapat menerapkannya pada pendidikan untuk membentuk karakter. Menurut Prof. Dr. Cece Rakhmat, M.Pd untuk menanamkan karakter pada anak terdapat pada tiga tahap, Pertama kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahap-tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsi akalnya menjadi kecerdasan intelegensia. Kedua, afektif, yang berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci,dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai kecerdasan emosional. Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan aktion, perbuatan,prilaku, dan seterusnya. Hal itu juga sependapat dengan apa yang dikatakan Ki Hajar Dewantoro “ngertingerasa-ngelakoni” (menyadari, menginsyafi dan melakukan). Untuk menanamkan ketiga ranah karakter (pengetahuan, perasaan dan tindakan) pada anak, maka sekolah dapat melakukanya dengan empat metode seperti :
- Penanaman nilai
Untuk menanamkan nilai-nilai budaya jawa yang memiliki kandungan karakter luas tersebut, maka dapat dilakukan dengan terintegrasi pada mata pelajaran misalnya pendidikan kewarganegaraan dengan kepariwisataan atau melalui penggunaan model pembelajaran value clarification technique, sehingga peserta didik memiliki pengalaman untuk dapat mempertimbangkan baik buruk perilaku yang akan dilakukanya. - Keteladanan nilai
Keteladanan nilai memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mendidik dan membina karakter. Keteladanan lebih mengedepankan aspek perilaku dalam bentuk tindakan nyata daripada sekedar berbicara. Keteladanan menjadi sangat penting untuk mengatasi masalah karakter dan memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mendidik dan membina karakter. Untuk itu pendidik dapat menjadi role mode atau contoh nyata bagi peserta didik untuk menerapkan dan mengaplikasikan nilai-nilai budaya jawa yang universal pada berbagai kesempatan di Sekolah. - Fasilitasi nilai
Fasilitasi nilai merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada subjek didik untuk mempraktikan nilai-nilai yang telah di ajarkan kedalam kehidupan/kegiatan nyata. Misalnya saja sekolah bisa mengajak peserta didik untuk melihat kehidupan masyarakat jawa dalam menyambut wisatawan maupun melayani wisatawan secara langsung, dengan demikian peserta didik juga dapat mencontoh dan mempraktikan nilai adat jawa yang selama ini diperolehnya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek didik dalam pelaksanaan metode fasilitasi nilai dinilai dapat membawa dampak positif pada perkembangan kepribadian. - Keterampilan
Untuk melatih keterampilan moral, pendidik dapat menyajikan pembelajaran yang berisi kasus-kasus yang mengharuskan peserta didik untuk dapat menilai dan menimbang dengan menggunakan nilai-nilai jawa dalam dunia pariwisata. Oleh karena itu, dengan melatih keterampilan moral diharapkan peserta didik dapat memiliki kompetensi yang penting guna menghadapi persoalan dalam hidup mereka, khususnya pendidikan kepariwisataan.
PENUTUP
Dapat disimpulkan dengan memahami berbagai nilai yang terdapat pada ungkapan jawa tersebut, maka kita dapat memperoleh nilai-nilai luhur yang dapat digunakan sebagai sumber pendidikan karakter yang bersifat universal. Sedangkan untuk menanamkanya pada peserta didik, sekolah dapat menggunakan empat metode yakni penanaman nilai, keteladanan nilai, fasilitasi nilai, dan keterampilan.
Namun juga perlu digaris bawahi bahwa budaya jawa bukanlah sebagai inti dari pendidikan karakter yang ada, tetapi hanya sebagian kecil yang digunakan untuk melengkapi dan memperbaiki kelemahan-kelemahan pendidikan karakter yang ada. Kekuatan dari budaya jawa adalah pada arti yang universal sehingga memungkinkan untuk memperjelas sebuah pendidikan karakter pada sekolah. Budaya Jawa dapat mendukung
kegiatan budaya karakter bangsa Indonesia sehingga mendukung keinginan pemerintah dalam memajukan pendidikan karakter di SMK. Oleh karena itu, diharapkan adanya pendidikan budaya Jawa dapat memberikan pendidikan karakter bagi para peserta didiknya, khususnya pendidikan di Sekolah Kejuruan.