Keberadaan masjid menjadi salah satu pilar bagi berdirinya Kasultanan Yogyakarta. Selain Masjid Gedhe yang berada di pusat pemerintahan, Kasultanan Yogyakarta juga membangun masjid di empat penjuru mata angin. Keempat masjid ini disebut sebagai Masjid Pathok Negara.
Secara makna kata, pathok berarti sesuatu yang ditancapkan sebagai batas atau penanda, dapat juga berarti aturan, pedoman ,atau dasar hukum. Sementara negara berarti negara, kerajaan, atau pemerintahan. Sehingga pathok negara bisa diartikan juga sebagai batas wilayah negara atau pedoman bagi pemerintahan negara.
Secara lokasi, posisi Masjid Pathok Negara berada di wilayah pinggiran Kuthanegara, tepat berada di perbatasan wilayah Negaragung. Kuthanegara dan Negaragung adalah sistem pembagian hirarki tata ruang dalam wilayah kerajaan Mataram Islam. Jika wilayah Kuthanegara adalah tempat dimana pusat pemerintahan berada, maka Negaragung adalah wilayah inti kerajaan yang berfungsi sebagai pelingkup atau penyangga pusat pemerintahan.
Pathok negara juga merupakan nama jabatan Abdi Dalem di bawah struktur Kawedanan Reh Pangulon. Abdi Dalem Pathok Negara adalah Abdi Dalem yang menguasai bidang hukum dan syariat agama Islam. Para Abdi Dalem ini diberi wilayah perdikan dan ditugasi mengelola masjid di wilayah tersebut, termasuk memberikan pengajaran/pendidikan keagamaan kepada masyarakat yang berada di sekitar bangunan masjid.
Secara keseluruhan Masjid Pathok Negara memiliki fungsi sebagai pusat pendidikan, tempat upacara/kegiatan keagamaan, bagian dari sistem pertahanan, sekaligus bagian dari sistem peradilan keagamaan yang disebut juga sebagai Pengadilan Surambi. Pengadilan ini memutus hukum perkara pernikahan, perceraian atau pembagian waris. Sementara untuk hukum yang lebih besar (perdata atau pidana) diputus di pengadilan keraton.
Keempat Masjid Pathok Negara dibangun di masa Sri Sultan Hamengku Buwono I. Masjid-masjid ini meliputi Masjid Jami’ An-nur di Mlangi (Barat), Masjid Jami’ Sulthoni di Plosokuning (Utara), Masjid Jami’ Ad-Darojat di Babadan (Timur), dan Masjid Nurul Huda di Dongkelan (Selatan).
Masjid An-Nur Mlangi
Masjid ini didirikan seiring dengan berdirinya daerah atau dusun Mlangi yang sekarang berada di wilayah Nogotirto, Gamping, Sleman sekira tahun 1758 oleh Kyai Nur Iman setelah mendapat tanah perdikan dari Sultan Hamengkubuwana I. Saat ini pengelolaan masjid An-Nur dilakukan oleh masyarakat sekitar tetapi pihak keraton Yogyakarta tetap menempatkan abdi dalem pathok negara di masjid ini sebagai salah satu penanda bahwa masjid tersebut adalah Kagungan Dalem.
Masjid Sulthoni Plosokuning
Masjid Plasakuning atau Plosokuning yang berada di wilayah Desa Minomartani, Ngaglik, Sleman, ini dibangun sebelum keraton Yogyakarta berdiri. Masjid ini didirikan oleh Kyai Mursodo, yang merupakan anak dari Kyai Nur Iman Mlangi. Kyai Nuriman merupakan saudara dari Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Sesaat setelah membangun Keraton serta Masjid Gede Kauman, Sri Sultan Hamengkubuwono I memindahkan Masjid Ploso Kuning ke tempat yang saat ini menjadi lokasi Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning.
Masjid Pathok Negoro Ploso Kuning dipindah dan dibangun ulang setelah pembangunan Masjid Gede Kauman. Sehingga bentuk masjid tersebut meniru Masjid Gede Kauman. Terlihat dari model tumpang dan mahkota di atasnya. Ciri khas masjid plosokuning ini adalah adanya kolam yang mengelilingi masjid untuk membasuh kaki karena untuk menyesuaikan kebiasaan masyarakat waktu dahulu yang beraktivitas sehari-hari tanpa alas kaki.
Masjid Ad-Darojat Banguntapan
Masjid Jami' Ad-Darojat terletak di desa Banguntapan, kecamatan Banguntapan, kabupaten Bantul. Masjid yang dibangun pada tahun 1774 ini pernah mengalami penggusuran pada tahun 1943 karena lokasi masjid pada saat itu akan digunakan untuk perluasan pangkalan udara tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka masjid ini dibangun kembali di lokasi yang sama pada tahun 1960.
Masjid Nurul-Huda Dongkelan
Masjid ini terletak di wilayah Kauman, Dongkelan. Secara administratif, berada di Desa Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul. Masjid yang dibangun oleh Kyai Sihabudin pada tahun 1775 ini pernah dibakar oleh Belanda pada masa Perang Diponegoro karena dianggap sebagai tempat berkumpulnya para pejuang pengikut Diponegoro. Lalu, pada awal abad 20, masjid itu diperbaiki bangunannya oleh Sultan Hamengku Buwono VII.
Masjid Taqwa Wonokromo
Masjid Taqwa merupakan yang terbesar di antara masjid-masjid pathok negara yang lainnya. Ini adalah masjid satu-satunnya yang bukan merupakan penjaga mata angin. Pendirian Masjid Taqwa tidak dapat dipisahkan dari tokoh bernama Kyai Mohammad Fakih. Dia adalah seorang guru agama Islam yang bertempat tinggal di Desa Ketonggo. Kyai Mohammad Fakih juga dikenal senang membuat welit (atap rumbia) yang terbuat dari daun ilalang, bukan dari daun tebu. Hal inilah yang menyebabkan dirinya memiliki nama lain "Kyai Welit".
Suatu saat, Sri Sultan Hamengku Buwono I hendak menemui Kyai Mohammad Fakih untuk ngangsu kawruh (menuntut ilmu). Awalnya, Kyai Mohammad Fakih merasa keberatan karena pada prinsipnya dia hanya memberikan ilmu kepada murid-muridnya saja. Sri Sultan Hamengku Buwono I lantas menyamar sebagai utusan sultan untuk menemui Kyai Mohammad Fakih. Penyamarannya itu tidak diketahui oleh Kyai Mohammad Fakih dan permintaannya sebagai murid dikabulkan karena niatnya yang sungguh-sungguh. Ketika sedang menuntut ilmu, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang menyamar meminta nasihat kepada Kyai Mohammad Fakih mengenai tatanan kerajaan yang baik.
Kyai Mohammad Fakih menjelaskan bahwa sultan harus melantik pathok, yaitu orang-orang yang dapat mengajar dan menuntun akhlak para rakyatnya. Pathok-pathok inilah di kemudian hari dianugerahi tanah perdikan. Selain itu, Kyai Mohammad Fakih juga memberikan saran agar sultan juga melantik kenthol (kepala desa), yang karena tugasnya diberikan tanah pelungguh. Sri Sultan Hamengku Buwono I yang melakukan penyamaran selanjutnya meminta izin kepada Kyai Mohammad Fakih kembali ke kasultanan untuk menyampaikan saran-saran tersebut. Sri Sultan Hamengku Buwono I akhirnya melantik dan membuat pathok-pathok yang ditempatkan di Mlangi, Plosokuning, Babadan, Gedongkuning, Ringinsari Gethan, Demak Ijo, Klegum, Godean, dan Jumeneng.
Sebagai ungkapan rasa syukur, Sri Sultan Hamengku Buwono I mengutus para pengawalnya untuk menjemput Kyai Mohammad Fakih di Desa Ketonggo dan Ki Derpoyudo di Laweyan, Surakarta agar melaksanakan salat Jumat di Masjid Agung Yogyakarta. Setelah melaksanakan salat Jumat, Sri Sultan Hamengku Buwono I melakukan pertemuan dengan keduanya untuk membahas tatanan kerajaan. Saat itulah Sri Sultan Hamengku Buwono I mengakui bahwa dirinya pernah menyamar sebagai utusan agar bisa menjadi murid Kyai Fakih Mohammad. Selain itu, Ki Derpoyudo juga memberikan keterangan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I bahwa Kyai Fakih Mohammad putra menantu dari anak sulungnya. Dengan kata lain, Kyai Mohammad Fakih adalah kakak ipar dari Sri Sultan Hamengku Buwono I, sebab Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah menantu Ki Derpoyudo dari putrinya yang kedua. Sejak saat itulah, Sri Sultan Hamengku Buwono I begitu welas asih kepada Kyai Mohammad Fakih. Selain sebagai kakak iparnya, dia juga menjadi gurunya. Hal inilah yang menyebabkan Kyai Mohammad Fakih dipanggil ngabiyantoro (menghadap ke keraton).
Pada 1701, Kyai Mohammad Fakih dilantik menjadi kepala pathok dengan candrasengkala Nyata Luhur Pendhita Ratu dan dianugerahi tanah perdikan di sebelah selatan Ketonggo yang berupa hutan. Dikarenakan hutan tersebut banyak ditumbuhi pohon awar-awar, maka daerah tersebut disebut dengan alas awar-awar. Tanah anugerah Sri Sultan Hamengku Buwono I yang masih berwujud hutan awar-awar itu kemudian dibuka dan didirikanlah sebuah masjid di tempat tersebut dengan nama Masjid Taqwa. Setelah selesai dibangun, Kyai Mohammad Fakih menghadap kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk menyampaikan laporan bahwa di atas tanah perdikan tersebut sudah didirikan sebuah masjid. Atas amanat dari Sri Sultan Hamengku Buwono I, daerah itu diberi nama Wana Karoma, yang berarti "supaya benar-benar mulia".
Selanjutnya, pada tahun 1702-1705 Sri Sultan Hamengku Buwono I berniat menunaikah ibadah haji, namun karena keadaan kasultanan belum begitu aman, dia mengutus Kyai Mohammad Fakih ke Mekah untuk menghajikannya. Kyai Mohammad Fakih mukim selama dua tahun di Mekah karena pada tahun pertama dia menunaikan ibadah haji untuk dirinya sendiri dan pada tahun kedua dia menunaikan ibadah haji untuk Sri Sultan Hamengku Buwono I. Kyai Fakih Mohammad juga memiliki sebutan “Kyai Sedo Laut” karena dia meninggal di laut sepulang dari tanah suci pada tahun 1757. Kapal yang ditumpanginya karam di Selat Malaka.
Ukiran-ukiran ayat suci yang berada di sepanjang bangunan masjid ini memiliki kemiripan dengan Masjid Agung Kotagede dan Masjid Kauman. Para warga yang berada di sekitar Wonokromo meyakini bahwa masjid ini merupakan salah satu dari sekian masjid yang dinamakan Masjid Tiang Negara. Masjid tiang negara ini memiliki pengertian bahwa masjid tersebut berfungsi sebagai simbol kekuatan negara (Kerajaan Mataram).