Babad Pakualaman dengan tembang macapat dhandhanggula, koleksi Perpustakaan Widya Pustaka Pura Pakualaman, DIY | Foto oleh : Koleksi Pribadi Yuniana T.
Lingsir wengi, sliramu tumekeng sirna,
Aja tangi nggonmu guling,
Beginilah salah satu kutipan syair yang kadang kala dimaknai dengan klenik, mistis dan menakutkan, seolah olah akan ada sesuatu yang datang. Orang selalu membayangkan sesuatu di luar nalar yang akan membahayakan jika mendengar syair tersebut. Gambaran ini agaknya bertolak belakang dengan asal muasal mengapa cakepan itu keluar. Padahal banyak makna yang tersirat dari kutipan cakepan itu.
Para linuwih agaknya memang selalu berbeda cara berpikir dengan orang awam pada umumnya. Ya jelas, secara keilmuan mereka sudah terasah dalam hal yang mereka geluti. Menggunakan laku tirakat yang kadang tidak main-main, puasa ngebleng, pati geni, kungkum dan masih banyak lagi yang mereka lakukan demi sebuah kata waskitha, ngerti sadurunge winarah alias tahu sebelum terjadi. Memikirkan akibat negatif yang timbul ditekan dengan sedemikian rupa sehingga tidak sampai membuat ontran-ontran. Dalam kata lainnya, mereka selalu mempertimbangkan dengan matang apa hasil yang di dapat sebelum mereka melakukan sesuatu itu, mikir dhisik lagi dilakoni, dudu nglakoni lagi dipikir mengko dadine kepiye.
Sastrawan jaman dahulu atau dalam budaya jawa disebut dengan pujangga cenderung memilih cara yang berbeda dalam menyikapi sesuatu. Melihat perkembangan jaman yang semakin edan dalam kutipan Serat Kalatidha karangan R. Ng. Ranggawarsita, beliau memberikan kritik dan nasehat yang ada dalam sebuah sekar macapat. Perangai para manusia kala itu yang sudah semakin tidak terkendali, membuat mereka membuat satu terobosan bagaimana caranya memberikan nasehat dengan masuk akal, mudah dicerna, serta selalu diingat.
Masih ingatkah kata satu ditambah satu sama dengan dua, dua ditambah dua sama dengan empat? Mungkin ini salah satu contoh bagaimana terobosan ini dibuat oleh para orang terdahulu agar para generasi mudah mengingat sesuatu. Ya, dengan nada dan nyanyian. Kita dapat membayangkan jika kutipan itu hanya sebatas kata-kata dan tidak dilagukan, dapat dipastikan para anak-anak TK terjamin tidak akan hafal jika satu ditambah satu sama dengan dua. Itu berkat sebuah nada, karena nada akan meningkatkan efektivitas penghafalan dibandingkan dengan sesuatu yang tanpa nada. Lebih spesifik, cenderung menyenangkan sehingga mengurangi beban menghafal.
Jika melihat terkait dengan nada, orang jawa juga memiliki nada yang digunakan untuk bernyanyi. Di Jawa, kita mengenal dengan nama tangga nada pentatonis pelog dan slendro, di Sunda dikenal dengan nama pelog, madenda dan salendro, dan masih banyak lagi. Kesemuanya itu merupakan nada-nada khas yang dimiliki oleh daerah tertentu untuk melagukan sesuatu. Dengan lagu, diharapkan semua yang diajarkan akan menjadi lebih mengena baik secara hafalan maupun secara perbuatan. Pemberian nada dalam sebuah lagu dan cakepan, biasanya disandingkan dengan paugeran tertentu. Paugeran atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan nama ciri yang mengikat inilah yang nantinya akan menjadi patokan dalam bernyanyi dan membuat sebuah lagu.
Salah satu genre musik jawa yang memiliki paugeran tersbut dikenal adalah macapat. Beberapa pakar menyebutkan macapat merupakan kerata basa dari kata maca papat, maca sipat, atau maca cepat. Maca papat adalah nembangke dengan cara medhot saben patang wanda atau melagukan dengan memberi jeda berhenti pada setiap empat suku katanya. Maca sipat diartikan jika macapat merupakan gambaran siklus kehidupan manusia yang penuh dengan sifat yang bisa dilihat dari siklus kehidupannya, dari dia lahir sampai dengan meninggal dunia. Maca cepat adalah membaca dengan cepat karena tidak seperti menyanyi pada umumnya yang memiliki reff dan coda sehingga cenderung diulang-ulang dan proses menyanyinya lama.
Para pujangga jawa, menggunakan macapat sebagai salah satu upaya untuk memberikan kritik serta nasehat, dalam bahasa kias adalah nabok nyilih tangan, menasehati tapi tidak langsung, agar tidak sampai menyakiti hati yang dinasehati. Coba perhatikan kutipan sekar gambuh ping catur, kang cinatur polah kang kalantur. Bisa dipastikan 90% anak SD di Jateng, Jogja dan Jatim pasti akan hafal dengan kutipan cakepan tersebut, dan kutipan cakepan tersebut memiliki maksud yang sangat dalam. Kutipan tersebut ada dalam tembang gambuh karangan Susuhunan Pakubuwana IV Serat Wulangreh.
Macapat gambuh dalam siklus kehidupan manusia diartikan sebagai generasi muda. Ada juga pendapat yang mengatakan gambuh berasal dari kata jumbuh (cocok). Dengan kata lain, tembang ini dipilih karena cocok dengan generasi muda yang thas thes, tidak ita itu, tetapi kadang kala kebablasan karena merasa ra sabaran dan kurang semeleh. Nada yang cenderung lugas dan tidak mendayu-dayu membuatnya seperti semangat generasi muda. Generasi muda adalah generasi yang masih mencari jati diri mereka yang kadang kala kebablasan karena tidak tahu aturan. Kang cinatur polah kang kalantur, menceritakan para generasi muda yang bertindak kebablasan. Kapatuh pan dadi awon, jika tidak mendengarkan nasehat ini, akan menjadi buruk.
Sebuah nasehat luar biasa terkait dengan sifat dan sikap para generasi muda yang secara implisit banyak berbuat kesalahan namun tidak mau mendengarkan nasehat dari para orang tua yang sudah berpengalaman. Dan ini diberikan kepada generasi muda dengan cara yang mereka suka, yaitu dengan tembang macapat atau lagu. Nasehat yang dilagukan akan mengena dalam hati mereka dan membekas lama. Para pujangga betul-betul nabok nyilih tangan, atau dalam kata yang lebih ekstrimis nabok nyilih macapat. Memikirkan bagaimana caranya para generasi muda ora serik jika dinasehati, namun tetap merasa menyenangkan sebuah nasehat itu. Terobosan yang luar biasa dalam sebuah tembang macapat.
Namun ada salah satu masalah yang kembali terjadi ketika sebuah tembang macapat diajarkan tanpa ditulis. Ibarat seperti berbicara kepada batu, tidak akan ada hasilnya alias nihil. Oleh karenanya, terobosan kembali dibuat oleh para pujangga jawa dengan menuliskan tembang macapat pada sebuah buku-buku atau manuskrip dengan sebuah hiasan yang indah yang biasa disebut dengan renggan. Renggan berasal dari kata indah, dimana nasehat-nasehat berharga itu kemudian ditulis dalam sebuah buku yang digambar dengan iluminasi yang menarik. Kembali lagi kepada akar masalah awal, menarik adalah jalan keluar dari permasalahan yang ada, karena tanpa kemenarikan, niscara orang tidak akan tergugah untuk melihat, apalagi sampai memelajarinya.
Biasanya, renggan dibuat guna menggambarkan isi dari kutipan yang ada di dalamnya. Dalam naskah-naskah yang ditulis dalam scriptorium dan disimpan di perpustakaan seperti Widya Pustaka Pura Pakualaman, memiliki renggan-renggan yang sangat indah. Tidak hanya digambar, namun sampai dengan diwarnai menggunakan warna-warna khusus yang bahkan sampai menggunakan prada emas dalam pewarnaannya. Proses itu membutuhkan waktu yang tidak singkat, membutuhkan kesabaran, dan inilah salah satu nasehat dari macapat yang ada, yaitu tembang pangkur yang berarti mungkur. Orang yang mungkur adalah orang yang sudah sangat terasah dalam kesabarannya karena sudah mengenyam banyak sekali pengalaman sehingga membuatnya menjadi orang yang temata atine.
Visual yang terjadi dalam sebuah buku atau naskah yang memiliki renggan cenderung enak dipandang mata dan tidak membosankan daripada naskah yang sama sekali tanpa sebuah gambar. Jika mau kasar-kasaran, kamus cenderung membosankan dibaca daripada buku yang isinya galeri foto. Namun itu tidak bisa digebyah uyah karena tidak semua orang memiliki pemikiran yang sama. Dan pada akhirnya, itulah keindahan sebuah nasehat yang dituturkan oleh orang jawa, dengan cara bijak, tidak menyinggung perasaan, elegan, dan mungkin sampai pada artistik dan dapat dinikmati oleh semua kalangan. Dan yang paling penting, mampu nabok nyilih tangan tanpa nglarani.
Betul kata empu jaman dahulu dalam sebuah tembang pocung, ngelmu iku kalakone kanthi laku. Tidak ada yang instan, tidak ada yang serta merta, karena proses itu penting, guna menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Tabik.
Penulis : Yuniana Trisnowati, S. Pd. (Guru Bahasa Jawa SMA Muhammadiyah 4 Kota Yogyakarta)