Sumber Foto: kompasiana
“Halo, Pak.”
“Halo, Bu.”
“Oke, Pak.”
“Oke, Bu.”
Sapaan tersebut menjadi sapaan yang dirasakan wajar-wajar saja untuk anak-anak sekolah zaman sekarang. Sapaan-sapaan tersebut seolah menunjukkan kesan kedekatan antara siswa dan guru. Kesan kedekatan antara guru dan siswa melalui sapaan-sapaan tersebut sedikit menyentil rasa sebagai orang Jawa yang kental dengan budaya menghormati dan menghargai orang lain. Budaya Jawa mengajarkan bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan siswa terhadap guru ataupun kepada orang yang lebih tua.
Unggah-ungguh bahasa Jawa diatur sedemikian rupa sebagai dasar yang kokoh untuk mengajarkan masyarakat Jawa memiliki rasa hormat dan menghargai orang lain, dalam hal ini lawan bicara. Dalam pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah, siswa diajarkan materi tentang undha-usuk atau tingkatan bahasa atau ragam bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Dalam artikel lain di Jogja Belajar ini telah dibahas dengan sangat lengkap tentang tingkat tutur dalam Bahasa Jawa diantaranya basa ngoko lugu, basa ngoko alus, basa krama, basa krama inggil, dan lain-lain.
Penggunaan tingkat tutur dalam Bahasa Jawa di masa kini penting untuk terus dipertahankan. Perubahan-perubahan kata yang mengikuti jenis tingkat tutur berfungsi sebagai wujud posisi seseorang terhadap lawan bicara. Seperti telah diungkapkan pada artikel sebelumnya bahwa unggah-ungguh Bahasa Jawa dapat membedakan siapa yang berbicara dan siapa yang menjadi lawan bicara. Misalnya, ketika siswa berbicara dengan sesama teman akan berbeda ragam bahasanya ketika siswa berbicara dengan gurunya atau orang yang lebih tua.
Kecenderungan siswa yang tidak lagi menggunakan Bahasa Jawa menjadi bahasa ibu merupakan tantangan besar bagi kita semua generasi Jawa yang hidup di zaman ini. Bagaimana peran guru sebagai pendamping siswa di sekolah mengenalkan dan membiasakan siswa memiliki unggah-ungguh Jawa? Pendekatan yang sederhana dan tepat menjadi pilihan ampuh sebagai upaya awal membangun kembali unggah-ungguh Jawa dalam diri para siswa.
Guru memiliki peran penting dalam mengenalkan unggah-ungguh Jawa kepada siswa. Sebuah pengingat bahwa anak-anak adalah anak zaman merupakan kata kunci dalam mendampingi siswa mengenal kembali, mencoba, dan membiasakan unggah-ungguh Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak zaman sekarang terbiasa mengakses segala sesuatu dengan mudah. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan dalam rangka membiasakan unggah-ungguh Jawa juga kepada para siswa semestinya dilakukan dengan cara yang sederhana namun efektif.
Unggah-ungguh sebaiknya dilakukan dimana pun berada yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan masyarakat, di lingkungan sekolah. Sependapat dengan pemikiran Ki hajar Dewantara (2011) bahwa Tripusat pendidikan terdiri dari 3 elemen tersebut. Lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan pergaulan masyarakat menjadi ajang yang saling mendukung terciptanya anak-anak yang memiliki unggah-ungguh Jawa.
Menurut Ki Hajar Dewantara (2011) budi pekerti yang di dalamnya termasuk unggah-ungguh yang ditunjukkan ana-anak merupakan pengaruh adri pembawaan keluarga. Menurut istilah Ki hajar Dewantara, anak-anak mengalami masa peka di lingkungan keluarga, yaitu pada periode umur 3,5 sampai 7 tahun. Pada masa ini merupakan masa terbaik untuk menanamkan budi pekerti sebagai dasar kekuatan tumbuh kembang anak-anak di masa depan.
Seyogyanya di lingkungan keluarga anak-anak mendapatkan pengaruh-pengaruh baik untuk menumbuhkembangkan budi pekertinya. Sebagai masyarakat Jawa, budi pekerti dapat dimulai dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu. Sifat bahasa Jawa yang unik telah mengajarkan anak melakukan unggah-ungguh Jawa. Kenyataan di masa kini bahasa ibu yang digunakan di dalam keluarga tidak hanya bahasa Jawa, maka hal pokok yang perlu dipahami adalah tetap mempertahankan unggah-ungguh Jawa, sehingga anak-anak tetap memiliki ciri khusus sebagai orang Jawa yang berunggah-ungguh.
Lingkungan sekolah sebagai tempat belajar kedua bagi anak bertugas menguatkan budi pekerti yang telah dimiliki anak. Penanaman budi pekerti termasuk unggah-ungguh secara efektif dapat dipraktikkan di sekolah. Melalui program-program pembiasaan sekolah terkait pengembangan karakter siswa, unggah-ungguh Jawa mempunyai jalur tepat untuk ikut andil mengembangkan kebiasaan siswa berunggah-ungguh Jawa.
Salam. Pembiasaan pagi ketika siswa sampai di sekolah dengan senyum, salam, sapa, sopan-santun merupakan cara pertama dan paling mudah membiasakan siswa berunggah-ungguh Jawa. Salam sebagai pembuka hari, pembuka pertemuan, sekaligus cara sederhana yang menunjukkan seseorang berunggah-ungguh Jawa. Guru memberikan contoh kepada siswa dengan memberikan salam dalam bahasa Jawa. Berikut ini tabel yang berisikan salam dalam bahasa Jawa yang disesuaikan dengan waktunya.
No. |
Waktu |
Ucapan Salam Bahasa Jawa |
1 |
Pagi hari |
Sugeng enjing |
2 |
Siang hari |
Sugeng siyang |
3 |
Sore hari |
Sugeng sonten |
4 |
Malam hari |
Sugeng ndalu |
Salam-salam tersebut dijadikan kebiasaan ketika siswa bertemu dengan guru di lingkungan sekolah, diucapkan untuk memulai praktik atau presentasi di depan kelas, dan diucapkan kepada tamu yang ditemui di lingkungan sekolah. Salam dalam bahasa Jawa tidak berarti menggantikan salam yang sudah biasa digunakan, tetapi ditambahkan sebagai pelengkap sekaligus sebagai ciri bahwa siswa melaksanakan unggah-ungguh Jawa dalam kehidupan sehari-hari.
Sapa. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Jawa untuk saling menyapa kepada siapa saja yang ditemui atau dilewati. Kalimat sapaan yagn digunakan disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Menyapa juga merupakan wujud penghargaan yang ditunjukkan seseorang kepada orang lain. Orang cenderung merasa bahagia ketika keberadaannya diperhatikan. Menyapa merupakan cara berunggah-ungguh Jawa yang sederhana, namun memiliki makna yang dalam yaitu mengakui keberadaan orang lain di sekitar kita. Berikut ini kalimat sapaan yang biasa diucapkan dalam kehidupan sehari-hari.
No. |
Kondisi |
Kalimat Sapaan |
1 |
Lewat di hadapan seseorang |
Ndherek langkung |
2 |
Mendahului orang lain ketika berlajan |
Mangga, kula ngrumiyini |
3 |
Menyilakan orang lain untuk duduk |
Mangga lenggah pinarak |
4 |
Menyapa orang lain yang akan pergi |
Badhe tindak pundi? |
5 |
Menawarkan bantuan |
Manga kula biyantu |
Sumèh. Terdapat satu ciri khas yang ditunjukkan masyarakat Jawa dalam berunggah-ungguh, yaitu sumèh ramah. Sumeh memiliki padanan kata ramah. Sikap sumeh dominan dengan mimik wajah yang menunjukkan kebahagiaan. Oleh karena itu ada sebuah ungkapan Jawa bahwa sumèh adalah suka mèhsêm alias suka senyum. Kata mèhsêm dalam ungkapan tersebut merujuk pada kata mèsêm atau senyum. Unggah-ungguh menggambarkan sikap dan perilaku yang membuat orang lain nyaman ketika berinteraksi. Oleh karena itu, ketika siswa melakukan salam dan sapa kepada orang lain dilengkapi dengan menunjukkan sikap yang ramah.
Ndhungkluk. Masih ada lagi unggah-ungguh sederhana yang bisa dilakukan oleh siswa yaitu ndhungkluk atau menundhukkan kepala. Sikap ini bukan berarti merendahkan diri, namun lebih kepada menghargai atau menghormati lawan bicara terutama orang tua. Bahkan ndhungkluk atau menundukkan kepala ini bisa menggantikan sapaan jika jarak orang yang disapa berada jauh dari orang yang menyapa. Yang artinya, jika menyapa dengan menggunakan kalimat sapaan harus berteriak, namun tetap bisa terlihat jelas jika menundukkan kepala.
Ndhungkluk termasuk ciri unggah-ungguh Jawa yang umum dilakukan dalam pergaulan sehari-hari. Lawan kata ndhungkluk adalah ndangak. Ndhungkluk memiliki makna yang mendalam. Dalam sebuah perumpamaan diungkapkan mengenai ilmu padi yaitu semakin tua semakin menunduk yang arti secara harafiahnya adalah semakin berisi semakin merunduk. Merujuk pada arti perumpamaan ini bahwa semakin banyak ilmu yang dimiliki seseorang, maka orang tersebut akan semakin rendah hati. Rendah hati bukan rendah diri. Orang dengan kerendahan hati tahu persis bahwa menghargai dan menghormati orang lain tidak lah membuat seseorang kehilangan harga diri, justru semakin menunjukkan kualitas dirinya.
Ngapurancang. Ngapurancang adalah sebuah sikap dengan posisi berdiri dengan tangan kanan ditangkupkan di atas tangan kiri yang keduanya berada di depan badan. Sikap ini adalah sikap yang umum ditunjukkan oleh masyarakat Jawa ketika berhadapan dengan lawan bicara yang lebih tua. Misalnya seorang siswa yang meminta izin kepada gurunya untuk keluar kelas ketika pelajaran sedang berlangsung. Sikap ngapurancang diikuti dengan sikap badan yang tenang dan tidak banyak bergerak.
Bagi sebagian besar siswa, untuk mampu mengusai tingkat tutur atau unggah-ungguh basa Jawa sebagai bagian pokok dalam berunggah-ungguh Jawa merupakan sesuatu yang tidak mudah. Beberapa kendala menjadi penyebabnya, diantaranya komunikasi di lingkungan keluarga yang tidak lagi menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu, bahasa Jawa hanya digunakan seminggu sekali di kelas ketika pelajaran bahasa Jawa berlangsung, dan tentu saja anggapan bahwa mempelajari unggah-ungguh Jawa adalah hal yang sulit.
Salam, sapa, sumeh, ndhungkluk, ngapurancang adalah cara sederhana bagi para siswa dalam berunggah-ungguh Jawa. Berunggah-ungguh Jawa dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Sapa tekun bakale tekan yang artinya siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan keberhasilan. Jika berunggah-ungguh Jawa adalah sebuah cita-cita, maka sebaiknya segera dimulai melaksanakannya. Mulai lah dari yang sederhana. Bersuka cila lah dengan unggah-ungguh yang kita miliki.
Biasakan diri menggunakan salam dan sapaan dalam bahasa Jawa. Mungkin tidak mudah di awal, karena perlu kepercayaan diri untuk memulai. Bisa jadi agak terasa malu untuk mengucapkan, tapi percaya lah bahwa melakukan unggah-ungguh bukan lah hal yang memalukan. Jika ada yang bangga bisa menguasai bahasa asing yang bahkan tidak dipelajari di sekolah, maka semestinya merupakan kebanggaan juga jika mau dan mampu mempraktekkan, membiasakan unggah-ungguh Jawa sebagai kekayaan budaya sendiri, meskipun “sekadar” salam dan sapaan.
Lengkapi diri dengan sumeh, ndhungkluk, dan ngapurancang. Sikap-sikap ini adalah ciri khas masyarakat Jawa. Sikap ini dapat membuat lawan bicara merasa nyaman dan diterima. Sumeh bisa menjadi tameng yang ampuh dalam menghadapi berbagai situasi. Menukil sebuah lirik lagu dari sebuah band terkenal di Indonesia “… hadapi dengan senyuman”. Senyuman melambangkan ketenangan dan pengendalian diri. Demikian lah orang Jawa, empan papan, mampu menempatkan diri dengan baik dimana pun berada. Ndhungkluk dan ngapurancang bukan sebuah sikap yang merendahkan diri, melainkan sikap rendah hati yang menunjukkan penghargaan dan penghormatan kepada orang lain atau lawan bicara.
Jika bukan kita siapa lagi, jika tidak sekarang kapan lagi. Bersuka-cita lah menjadi siswa yang berunggah-ungguh Jawa. Mulai lah hari ini, sapa lah bapak ibu guru dan teman-teman di sekolah dengan salam dan sapaan berbahasa Jawa. Bersikap lah selayaknya orang Jawa.
“Sugeng enjing, Pak”.
“Sugeng enjing, Bu”.
“Mangga, Pak”.
“Mangga, Bu”.
Apakah terbayang seulas senyum ketika membaca salam dan sapaap tersebut? Jika iya, lakukan lah.
Referensi
Dewantara, K.H. (2011). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.