Sumber Foto: ilustrasi gambar DLHK DIY
Air memiliki peranan penting yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan budaya hidup bermasyarakat. Budaya hidup masyarakat Jawa yang kental dengan nuansa kebatinan merupakan sarana straategis dalam konservasi air. Pandangan masyarakat Jawa yang mengedepankan keseimbangan hidup dengan alam melahirkan konsep-konsep kearifan lokal sebagai implementasi kepedulian kepada alam terutama air.
Pada keperluan konservasi air, para leluhur masyarakat Jawa mengenalkan menggunakan mitos penunggu. Konsep kebatinan masyarakat Jawa bahwa ada kekuatan lain yang berada di luar diri mereka menjadikan mitos-mitos terkait penunggu ini menjadi gagasan yang bisa diterima. Pada akhirnya akan sampai saatnya masyarakat Jawa modern mencari jawaban ilmiah atas mitos-mitos tersebut.
Di dalam buku yang berjudul “Goresan Peradaban” yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan DIY disebutkan bahwa masyarakat adat budaya pada umumya merupakan masyarakat kosmologis, artinya hidup mengikuti siklus alamiah (2018: IX). Berlatar hal tersebut, masyarakat Jawa mengenal dan membedakan jagat raya menjadi dua hal yakni alam raya sebagai jagad ageng dan manusia sebagai jagad alit. Alam raya dan manusia tidak dapat dipisahkan keterkaitannya di dalam kehidupan. Manusia hidup di alam raya memiliki tugas untuk senantiasa memayu hayuning bawana. Demikian masyarakat Jawa memposisikan dirinya dengan alam raya.
Masyarakat Jawa mengedepankan keseimbangan dalam menjaga kelestarian alam raya. Kesadaran diri masyarakat Jawa sebagai jagad alit melahirkan berbagai kearifan-kearifan lokal masyarakat Jawa yang berkaitan dengan upaya memayu hayuning bawana. Masyarakat Jawa akan berusaha maksimal supaya tercipta keseimbangan yang akan mendatangkan dampak positif pada kehidupan mereka. Berpegang pada semboyan sapa nandur ngundhuh mengarahkan sikap dan perilaku masyarakat Jawa untuk memberikan yang terbaik pada alam raya. Harapannya, alam raya juga akan memberikan hal-hal baik untuk kehidupan. Dengan demikian terjadi lah sebuah korelasi mutualistik yang saling menguntungkan antara manusia dan alam raya.
Seiring perkembangan zaman, terjadi perubahan-perubahan tatanan kehidupan manusia yang mengakibatkan kerusakan-kerusakan lingkungan. Kerusakan-kerusakan tersebut tentu mempengaruhi kehidupan manusia. Berbagai perilaku manusia modern memiliki andil terhadap pergeseran pandangan lokal tentang keseimbangan manusia dan alam raya. Perilaku penebangan pohon dengan berbagai alasan keperluan manusia secara terang-terangan mengakibatkan kerusakan alam. Salah satu akibat dari penebangan pohon adalah rusaknya ekosistem sungai. Sungai bagi masyarakat Jawa merupakan salah satu sumber air yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Jawa telah lama bersahabat dengan sungai. Sungai adalah sarana penting bagi masyarakat Jawa untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari. Masyarakat bisa bersosialisasi pada saat beraktifitas sehari-hari di sungai. Air sungai yang mengalir bersih dan lancar juga merupakan tempat anak-anak bermain yang menyenangkan. Yang paling utama, sungai adalah sumber irigasi persawahan masyarakat.
Masyarakat Jawa dengan bekal pengetahuan dan pemahaman tentang jagad ageng dan jagad alit akan melakukan tugasnya memayu hayuning bawana menjaga konservasi air menggunakan kekuatan kerifan lokal yang telah diwariskan oleh para leluhur terdahulu. Selanjutnya, falsafah memayu hayuning bawana mempunyai tiga makna yaitu, 1) menyelamatkan, melindungi, memelihara kehidupan masyarakat dan lingkungan hidupnya, 2) dharma bakti pada seluruh kehidupan dunia dan lingkungan hidupnya, dan 3) lebih mementingkan berkarya untuk masyarakat daripada kepentingan pribadinya (Yudahadiningrat, 2018). Falsafah Jawa tersebut warisan dari HB I yang terkenal sebagai sosok negarawan yang mumpuni sekaligus pengayom agama dan budaya Jawa.
Manusia Jawa memandang perlu menjaga keseimbangan alam dengan cara berperilaku baik terhadap seluruh penghuni alam raya. Perilaku-perilaku baik diyakini akan kembali kepada diri sendiri dalam bentuk kebaikan pula. Oleh karena itu, sering ditemui adat masyarakat Jawa yang menggambarkan bahwa masyarakat Jawa menghormati keberadaan spirit leluhur dengan cara-cara tertentu.
Sejak zaman prasejarah, suku bangsa Jawa telah memiliki kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan juga pada manusia sendiri. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau memiliki roh berwatak buruk maupun baik (Koentjaraningrat, 1954) Sistem kepercayaan ini mengangap bahwa spirit leluhur dan juga roh-roh halus diyakini menghuni suatu tempat atau suatu benda. Kepercayaan tersebut mengakar kuat pada diri masyarakat Jawa. Akibatnya, pada peristiwa-peristiwa tertentu masyarakat Jawa perlu menyajikan sesuatu yang dianggap kesukaan spirit leluhur atau roh-roh halus penunggu suatu tempat atau suatu benda tertentu. Semua ini dilakukan sebagai wujud penghormatan sebagai sesama makhluk penghuni alam raya sekaligus supaya terhindar dari gangguan-gangguan roh jahat.
Dengan memberikan penghormatan kepada spirit para leluhur atau roh-roh halus yang mereka yakini keradaannya, maka hajat yang direncanakan akan dapat berjalan dengan lancar tanpa gangguan. Kebiasaan tersebut turun temurun menjadi tradisi yang dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa yang bertahan hingga sekarang. Ada kecenderungan untuk menghindari “kemurkaan” dari spirit leluhur atau pun roh-roh halus yang ada di sekitar masyarakat Jawa tinggal. Sampai akhirnya muncul kalimat-kalimat yang berkembang di dalam masyarakat misalnya Aja cedhak-cehak uwit gedhe kae, ana sing nunggu, yang artinya “Jangan dekat-dekat pohon besar itu, ada penunggunya” atau kalimat-kalimat sejenis yang menggambarkan bahwa “sesuatu” itu bisa mendatangkan sesuatu yang buruk bahkan ketika hanya mendekat saja.
Secara psikologis, pandangan hidup masyarakat Jawa tentang “sesuatu” yang mendiami suatu tempat atau benda ini merupakan potensi besar dalam menjaga keseimbangan manusia dengan alam. Keuntungan yang diperoleh dari potensi tersebut adalah terjaganya suatu daerah atau benda yang dianggap penting bagi kehidupan. Banyak tempat-tempat yang kemudian dikatakan “angker” karena ada “penunggunya” justru menjadi tempat terbaik bagi alam untuk melakukan keseimbangan. Tanpa terjamah tangan manusia, alam akan secara otomatis berperan menjaga keseimbangan.
Pandangan masyarakat Jawa modern mengalami perubahan. Logika dan penalaran menjadi dasar untuk menilai sesuatu apakah bisa diterima atau tidak. Muncul respon-respon kritis dari masyarakat Jawa modern ketika menyikapi kebiasaan-kebiasaan yang dianggap irasional seperti halnya tentang “penunggu”. Sebagian masyarakat Jawa modern berani menentang mitos yang sudah dipercaya turun temurun. Sebagai gambaran, ada yang berani mendekati tempat yang dikabarkan ada “penunggu”nya. Namun demikian, kepercayaan masyarakat tentang mitos ini masih bisa diandalkan untuk melindungi kepentingan masyarakat pada umumnya.
Kesadaran akan pentingnya hubungan baik antara manusia dan alam mencetuskan sebuah gagasan dengan memanfaatkan kepercayaan yang berkembang pada masyarakat Jawa. Pada keperluan konsevasi air, cara pandang masyarakat Jawa tentang “sesuatu” yang dipercaya mendiami yang sering disebut sebagai “penunggu” pada suatu daerah atau suatu benda efektif mencegah peusakan lingkungan yang berakibat pada krisis air. Desas-desus yang didengungkan bahwa daerah aliran sungai itu ada “penunggunya” berdampak pada keengganan masyarakat untuk mendekat pada sungai atau sumber-sumber air supaya tidak diganggu oleh “penunggu”. Oleh karena itu, sumber-sumber air terjaga keberadaannya.
Sering kita lihat, di sepanjang aliran sungai banyak sekali tumbuh pohon gayam. Mitos mengenai “penunggu” pohon gayam juga sudah sangat dikenal di kalangan masyarakat Jawa. Mitos yang tersebar di kalangan masyarakat Jawa adalah bahwa penunggu pohon gayam adalah genderuwo. Pohon gayam merupakan salah satu pohon yang memiliki nilai filosofis bagi masyarakat Yogyakarta. Bahkan di Kraton Yogyakarta, pohon ini memiliki area khusus, yaitu di area antara Pagelaran dan Siti Hinggil. Gayam berasal dari kata “nggayuh” yang berarti mencari/meraih sesuatu. Kayu pohon gayam juga melambangkan jiwa pendeta. Karena itu dapat dikatakan bahwa pohon gayam melambangkan bahwa, “Manusia harus mempunyai keinginan untuk mencapai keutamaan hidup.” Ada juga yang menganggap bahwa gayam berasal dari kata “gegayuh ayem” yang berarti mencari ketenangan.
Pohon gayam pernah ditanam oleh leluhur dan dimanfaatkan sebagai penanda peristiwa dalam kegiatan pertanian. Kemudian, khusus pohon gayam yang banyak terdapat di sepanjang aliran sungai memang sengaja ditanam oleh leluhur terdahulu yang secara alami dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia terutama menjaga keberadaan air.
Pohon gayam mempunyai berbagai keunggulan. Diantaranya tajuknya rindang, akarnya mampu menyimpan banyak air tanah sampai ke permukaan, sehingga cocok sekali untuk konservasi air. Bagian-bagian pohon gayam lainnya juga memiliki aneka ragam kandungan dan manfaat bagi manusia. Menurut penelitian, buah gayam memiliki kandungan sekitar 75% karbohidrat, 10% protein dan 7% lemak. Di masa lalu, buah gayam menjadi kudapan yang dinikmati dengan cara direbus atau pun disangrai. Kayu pohon gayam yang besar-besar dapat digunakan sebagai bahan mebel.
Gayam pernah digunakan sebagai penanda peristiwa dalam dunia pertanian. Tertulis di dalam Babad Alit II: Jumênêngipun Cungkup Ing Pasarean Kuthagêdhe anggitan Prawirawinarsa (1921): “Ingkang Sinuhun Karta nanêm gayam wontên ing dhusun Lipura bawah Ngayogya, yèn wit gayam wau ngantos sêkar, punika dados pratôndha manawi para among tani badhe botên kawêdalan tanêmanipun.” Terjemahan bebasnya: Sinuhun Karta (Amangkurat I) menanam bibit pohon gayam di Desa Lipura yang masuk wilayah administratif Yogyakarta. Pohon gayam yang tumbuh bunganya dijadikan tengara para among tani (petani) bahwa tanaman mereka tidak tumbuSelain dalam Babad Alit II, gayam juga digambarkan di dalam serat Centhini dengan gambaran sebuah desa yang mengalir air jernih memancar karena banyak pohon gayam di desa tersebut. Gayam bukan lah sembarang pohon, keberadaannya tertulis di beberapa manuskrip kuna.
Kisah pohon gayam dekat dengan kegiatan pertanian dan sumber air yang jernih mengalir. Kearifan lokal leluhur masyarakat Jawa telah mengenalkan pada kecerdasan empirik tentang pengelolaan khususnya konservasi air. Dengan kekuatan batin dan keinginan untuk menjalin keseimbangan dengan alam, dibuat lah mitos-mitos “penunggu” pohon gayam untuk menjamin kelangsungan aliran air sungai sehingga bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat.
Diungkapkan oleh Ketua Forum Komunitas Sungai Sleman (FKSS) bahwa perilaku masyarakat yang sulit diubah menyebabkan sungai mudah tercemar. Masyarakat terlanjur menggunakan sungai sebagai sarana melakukan aktifitas apa pun. Menjadi tugas masyarakat Jawa modern untuk mampu menyelesaikan bentuk-bentuk masalah dengan lebih baik.
Sebagaimana konsep “penunggu” pada pohon gayam, pada mulanya mitos itu dikembangkan sesuai dengan alam piker masyarakat Jawa pada zamannya. Setelah melalui penelitian dan kajian, diperoleh hasil bahwa pohon gayam memang jenis pohon yang cocok untuk keperluan konservasi air karena berbagai keunggulannya dalam menyimpan air tanah. Dengan demikian, munculnya mitos-mitos dalam masyarakat Jawa pada umumnya bertujuan untuk menjaga kelangsungan hubungan baik antara manusia dan alam sekitar. Kini, generasi modern untuk bertugas mendesain kearifan lokal yang sesuai dengan perkembangan zaman demi lestarinya alam lingkungan, terutama konservasi air.
Penulis : Indriyani Voluntiri Azis